Apresiasi
Puisi Indonesia
Pada hakikatnya, aliran romantisme merupakan
aliran dalam sastra yang lebih mengutamakan perasaan sehingga dalam
penerapannya menggunakan bahasa yang indah dan mendalam, seakan mengawang dalam
mimpi.
Pada “Surat Cinta” yang diciptakan oleh W.S Rendra adalah gambaran perasaan
ketika ia jatuh cinta kemudian perasaan itu tertuang ke dalam sebuah bentuk
puisi naratif yang romantis.
Surat Cinta
Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Bagai bunyi tambur mainan
Anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angin mendesah,
Wahai, dik Narti
Aku cinta padamu !
Kutulis surat ini
Kala langit menangis
Dan dua ekor belibis
Bercintaan di dalam kolam
Bagai dua anak nakal
Jenaka dan manis
Mengibaskan ekor,
Serta menggetarkan bulu-bulunya.
Wahai, dik Narti, Kupinang kau
menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
Menyentuh ujungnya bumi.
Kaki-kaki cinta yang tegas
Bagai logam berat gemerlapan
Menembus ke muka
Dan tak kan kunjung diundurkan.
......................................................
Engkau adalah putri duyung
Tawananku.
Putri duyung dengan
Suara merdu lembut
Bagai angin laut,
Mendesahkan bagiku !
Angin mendesah
Selalu mendesah
Dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
Tergolek lemas
Mengejap-ngejapkan matanya yang indah
Dalam jaringku.
Wahai, putri duyung,
Aku menjaringmu,
Aku melamarmu.
Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Karena langit
Gadis manja dan manis
Menangis meminta mainan
Dua anak lelaki nakal
Bersenda gurau dalam selokan
................................................
(Empat
Kumpulan Sajak, 1961)
Dikatakan romantis, sebab
Pada bait pertama, kedua, dan keenam (baris
pertama dan kedua) terdapat bunyi yang sama. Yaitu Ku
tulis surat ini
Kala hujan gerimis.
Ini menggambarkan bahwa penyair menulis
sebuah surat dalam keadaan yang dapat diresapi oleh pembaca. Pembaca dapat
meresapi seakan-akan mereka yang berada dalam suasana tersebut. Begitu
syahdu...
Pada
baris akhir bait pertama dan kedua, aku
cinta padamu dan kupinang kau menjadi
istriku menguatkan puisi ini bahwa penyair begitu dalam menyatakan perasaan
hatinya kepada Narti. Hal ini dikuatkan ketika ia mengibaratkan putri duyung dengan suara merdunya adalah seseorang
yang ia cintai tersebut. Putri duyung adalah tawanan hatinya, hingga ia ingin
menjaring dan melamarnya.
Puisi
ini terlalu dalam mengungkapkan perasaan hati sang penyair, sehingga dalam
ruang sastra, W.S Rendra dalam puisi ini dianggap masuk dalam aliran romantisme.
Salah satu puisi naratif yang termasuk aliran
romantisme
Membius Rindu
Kubuka lagi
kotak memori di pekat malam
Menguak titik
demi titik kamuflase yang kau rangkai
Hanya untukku
Hati kecil
berbisik seiring memeras keras butir bening
Keharuan dan
simbol kesedihanku.
Jatuh disudut
bibir
Detik itu telah
membius pikiran dan merobek hati
Yang lama
terkatup
Hingga akhirnya
menetes darah kekecewaan
Aku berdiri
dikeremangan senja
Mencari-cari
sosokmu di kerumunan awan hitam
Kulihat ujung matamu
meruncing ke arahku
Namun lagi-lagi
kau menghimpit dibaliknya
Dahiku
mengernyit
hatiku kembali
berbisik
Mungkin kau
hanya begurau…
Sayatan kemarin
terlalu dalam
Menggores asa
tuk mengenal kaummu
Hingga
kupastikan kaupun jua.
Opsiku diam…
Diamku dihadapmu
Terlalu jelas
menampakkan rasa
Jika kau
benar-benar peka.
Di setiap
diamku, disitulah kuhirup dalam-dalam
Aroma tubuhmu,
merasakan detik
demi detik
waktu lari
mengencang.
Disetiap diamku
kunikmati kata demi kata
Yang terucap
dari bibirmu
Disetiap diamku
tersirat harap
Dengarlah jerit hatiku
‘tuk memintamu.
Bibirku tak
mampu menghentikan
Hentakan kakimu
Tapaki
tangga-tangga perpisahan.
Bagaimana
mungkin
Taman yang baru
saja kupersembahkan untukkmu
Kau tinggalkan
begitu saja
Andai bisa
kupagari taman itu
Agar kau tak
bisa melangkah bebas
bahkan ke taman
yang lebih hijau
di seberang sana
Sebongkah tanya
yang kau tanggalkan
Merajai isi
kepalaku
Sebongkah
Tanya kau sodorkan
benar si hati
kecilku
Mungkin kau
hanya bergurau…
Imajiku melalang
buana
Persepsi yang
tak akan ada habisnya
Tentangmu,
sosokmu, jiwamu, hatimu, dan semua atasmu
Penuh Tanya…
Benar si hati
kecilku
Mungkin kau
hanya bergurau…
Pergilah secepat mungkin,
Muakku telah
kewalahan menguasai logika
Kumohon jangan
tawarkan
Kebimbangan…
Melesap bergulir
bak seringai duka
Meski kutahu,
Walau dipetang
kita nikmati
Keromantisan di
teduhnya tamanku ini,
Maka detik itu
pula
Kau menikamku
dengan pewantian rindu yang
Akan bergejolak
merasuk ke heningnya gulita.
Membius rindu
Satu-satunya
penenangku.
-Makassar,
Desember 2011-
Satu lagi puisi
yang termasuk aliran romantisme.
KAKTUS
Kau
yang kusebut Kaktus.
Durimu
tak setajam belati, getahmu bukan pula racun.
Kau yang kusebut kaktus, hijaumu
terang.
Kau yang kusebut kaktus, sandaran
yang empuk.
Kau yang kusebut kaktus, rinduku
dalam benci.
Kau yang kusebut kaktus, permainan
air mata
Kau yang kusebut kaktus, si empu
tahta di tamanku
Kau yang kusebut kaktus, AKU
MENCINTAIMU.
Kaktus, jika
suaraku tidak lagi kau dengar,
disitulah puncak rinduku.
Aku membungkus
perihku lewat tawa,
ku urung tanyaku
dalam diam.
Raga yang jauh tapi
jiwamu duduk di sini, disampingku.
Tapi, pagi ini
tidak lagi, bahkan mungkin untuk selamanya…
Kaktus, durimu
telah mengendap di nadiku,
aku menikmati
perihnya,
perih merindu,
perih bergelimang
tanya,
perih yang terasa
membahagiakan.
Sesekali aku
berusaha mencabutmu
dan ternyata ini
lebih perih,
sakit yang melebihi
irisan belati
Kau yang kusebut
kaktus, AKU MENCINTAIMU.
-Makassar,
Februari 2012-
Adapula
puisi yang berbeda dengan aliran romantisme. Puisi berikut berbanding terbalik
dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam aliran romantisme. Dapat dikatakan
bahwa puisi ini termasuk dalam aliran
impresionisme.
Setengah
Jalan
Aku terpojok
di sudut jalan…
Ku seka
keringat seraya mata menyipit
Memandang
silau mentari yang setia menemani perjalananku.
Niat yang awalnya hanya rehat sejenak,
Lalu kembali
berjalan dan berlari kecil.
Entah
mengapa cuaca malah menyuruhku diam dan berjalan mundur.
Gerimis menawarkan
rinainya…
Menyuburkan
asaku ‘tuk tetap bangkit dan berjalan
Namun hujan
mengeras, menghentikan langkahku.
“Tak ada
jaminan kau akan mendapat apa yang kau harapkan di sana” Tukasnya.
Aku bimbang…
Memang, aku
tak tahu akan dapat apa di depan sana.
Di depan
sana seakan menarikku tuk terus melangkah, merayuku dengan pesonanya.
Namun,
ketika kakiku bergegas melangkah, bayang itu hilang…
Aku
kehilangan arah.
“Sudah
kubilang, itu hanya bayangan semu”, Hujan berbisik sinis.
Kini aku
menjongkok di tengah jalan…
Menunduk
dengan penuh kedilemaan
kuhiraukan
Burung-burung bersayap indah berlalu lalang
Menawarkan
rangkulan,
Tak ada yang
menarik hatiku,
Sekali lagi
ku runcingkan pandanganku di titik ujung sana…
Aku berdiri…
Kaki kiriku
mengalun pelan ke belakang…
Tubuhku ikut
berbalik haluan.
Akupun
berlari mundur…
Berlari
dengan rasa ketakutan akan kekecewaan
Yang mungkin
lebih sakit
Dibanding
kakiku yang telah melepuh
Di setengah
perjalanan ini.
-Makassar,
November 2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar