Selasa, 03 September 2013

LANGIT BONTOTIRO



Pertemuan selalu bersanding dengan perpisahan. Namun bukan berarti waktu akan menerkam kenangan indah yang telah kami jamah. Kurang lebih dua bulan kami mengabdi di sebuah tempat yang sama sekali tidak pernah disangka-sangka, satu tempat dengan seribu kenangan, satu tempat yang telah mewarnai perjalanan hidup kami. 

Satu malam yang selalu kutolak kehadirannya. Sebelum senja menjajakan kecantikannya, aku mulai menulis sebuah deretan resahku di atas sebuah kertas yang akan kubacakan di malam ramah tamah yang betul-betul memuakkan untukku, yah sebab malam itu tak ingin kusentuh. perpisahan betul-betul menjijikkan untukku. Bait demi bait menetes lewat ujung penaku, bak air mataku yang meleleh dengan

segenap enggan. 
Senja akhirnya turun dengan tegas. Bara hitam kini merajai langit. Ombak Samboang mengamuk-amuk, saling mengejar tak tentu. Angin mendesah mengibas-ibas sukmaku, mengusap pelupuk mataku yang sengaja kutahan agar tak jatuh butiran-butiran dukaku. Kulihat canda itu, canda teman-teman seperjuanganku yang asyik mengabadikan kisahnya lewat sebuah lensa. Kenangan-kenangan adik-adik kecil yang selalu meramaikan rumah tempatku bernaung selama masa pengabdian, teringat wajah ayahanda yang telah kuanggap ayahku. Perpisahan benar-benar menyakitkan.
Angin makin memperlihatkan kegarangannya. Acara malam perpisahan segera dimulai. Salah satu teman seperjuangan telah membuka acara yang kuanggap acara duka itu. Serangkaian acara berjalan lancar, dan tepat ketika pepuisiku akan terbang menegaskan bahwa malam ini adalah malam terakhir kami, aku benar-benar tak kuasa mendengungkan puisiku itu, kuserahkan kertas yang berisi luapan hatiku itu pada teman seperjuanganku. Dan akhirnya, "Langit Bontotiro" mengudara di terbangkan angin.
 
Juli lalu...
Resah menggeliat menyusup pikiran.
Detak detik jam berdenting berlari kencang
Membawaku dari zona nyaman yang memanjakan.

Juli lalu...
Malam pertama di bawah langit Bontotiro
Tetes menetes butiran bening menjatuh dari retina
Merindukan mata syahdu seorang ibu
Merindukan pelukan hangat sang ayah
Tawa canda adik kakak tercinta...

Malam pertama di bawah langit Bontotiro
Bak berada dalam kepungan keterasingan
Tangisku kini menjelma menjadi gigilan rindu yang tak bertuan
Pada yang terkasih, pada yang tersayang.
Dan kini jarak menjadi pemeran paling antagonis dalam alur kisahku.

Dalam hiruk canda kawan baruku
aku tetap meyudut menyepi.
Namun
Detik berganti menit,
Hari berganti hari,
Bulan berganti bulan,
Dan pada sang waktu yang tak pernah bisa diajak kompromi
Sedihku  tenggelam dalam canda tawa
Gelak tawa dari sudut-sudut keceriaan kawan seperjuanganku.
Melarutkan tangis menjadi sebuah lelucon tanpa akhir

Di bawah langit bontotiro.
Ketika sedihku melegam,
Dan menerbitkan ribuan sunggingan di sudut-sudut  bibir teman seperjuanganku mengabdi di tempat indah ini.
Melebur dalam balutan sambut kasih dari insan-insan penghirup udara di Bontotiro ini.

Sepoi angin samboang yang begitu mesra,
Aliran Hila-hila yang menenangkan
Riak percikan air Limbua yang menyejukkan...
Begitu hebat mematikan egoku untuk beranjak dari tempat ini.


Malam ini,
Tampak bulan yang tinggal setengah
Dengan kegamangan angin meniup-niupkan energinya
Agar kita tetap di sini
Tetap menyatu bersama insan-insan Bontotiro

Pekat malam seperti pekatnya hati kami
Yang bimbang melangkah pergi dari keindahan ini
Melebur dalam cekikikan yang tiada henti.
Menyusuri keindahan di setiap sudut tempat indah ini

Hingga, pada waktu yang tak pernah bisa diajak kompromi
Ku pasrahkan kakiku melangkah
Kembali pada pelukan ayah ibuku
Meninggalkan jejak kenangan yang  kuukir sejak Juli lalu

Langit Bontotiro
Yang indah dengan ribuan kilau keistimewaan
Biarkan kami menghirup udara malammu di malam-malam lain
Sebab kami akan menanggung rindu
Saat kaki telah menjelma jejak.