Rabu, 29 Agustus 2012

TAPAL KISAH


Berada beberapa meter dari geta, saat mata kita terperanjat dalam kerinduan tak bertepi. Hembusan angin syahdu meliuk menggetarkan kekakuan agar tampak stabil. Riak dedaunan tak pelak membangunkan rindu yang telah tidur tanpa suri. Masih membekas di memori--saat penghujan mewarnai kisah tahun kemarin, kisah yang terajut hingga peghujan beralih gersang bak ligatur yang terangkai liris, segersang taman kemilau mimpi yang kita leburkan dalam nyata di masa depan. ‘Pun teduh tak bisa terhindar dari memorial bersejarah dalam buku catatan. Berada dalam keeforiaan, perayaan besar-besaran akan hadirnya kembali cinta, rindu, kasih, syahdu dan partikel-partikel lain yang melesap dalam satu kesatuan, bergumpal di atas puncak kedamaianku sendiri. Juga tentang waktu dan jarak, yang berpacu melebatkan rindu yang lebih hebat dari musim penghujan. Pancaroba, seakan berdalih akan sebab hujan berubah garang dengan tampilan sinar sang maharani yang melegamkan pelangi. Gerimis mengering di coklatnya bekas tapak kaki yang kehilangan jejak dalam perantauan hati. Jika penghujan memberi seuntai kisah tentang rindu yang pecah pelan-pelan lewat ruang dengar, rindu yang menjelma menjadi embun ditiap paginya, dalam gersang semesta menuai rindu yang tak lagi termayakan, namun hadir bak penyejuk taman sembari memfungsikan kunci taman yang pernah kutitipkan sebelumnya.
Raut air muka yang berpendar dan memantul di retinaku, menggelayut anak tanya di benak yang mungkin setengah sadar. Geriak menyodor tanya berbondong-bondong. Tak seperti peghujan kemarin, dengan bebasnya merpati melambung tinggi menemui kekasihnya di cemara yang berguguran daunnya, dengan ikhlasnya sayap itu mengepak dengan segenap rindu yang berpacu dalam sepersekian detik. Dengan lihainya, disematkan setangkai mawar yang nyaris menguncup dikekang silau raja langit. Mawar melayu di taman gersang persimpangan jalan kenangan, tepat di samping geta teduh yang kita sebut guyonan nyata.
Raut air muka yang berpendar dan memantul di retinaku. Menilik kedamaian yang tertanggal agar ia benar-benar damai dalam keputusan. Berusaha memetik kerinduan lewat kemerahan bibir. Membingkis fragmen-fragmen imaji yang ‘kan tercicipi beberapa saat ke depan.
“Apa jadinya kedamaianmu jika kau menyusupkan egomu dalam kelarutan kita? Mawar telah melayu namun tak perlu disangsikan ketegarannya. Cukup mengangguk, jika damai benar ada dalam tegarnya mawar.” Sejoli merpati itu saling merekah senyum, salah satu diantaranya tampak bermain mata seraya mengepakkan sayapnya. “Sayang, kita masih punya waktu” katanya, lalu terbang.
“Namun hingga waktu semakin mendesak dan merdeka di tengah kekalutan, aku masih juga menunduk dan menghindar dari matamu, retinaku menyeembunyikan banyak butir-butir harap yang tak ingin kutumpahkan di hadapanmu.” Merpati yang berpijak di cemara gersang itu kini menelangsakandiri di telaga air mata. Ingin sekali kembali ke geta teduh itu. Ia melirik pada sayapnya yang berdarah nanah. “Sepertinya sudah tidak ada harapan.” Gumamnya, menengadah ke langit lalu terpulas.
               
Kotak Imajinasi, Agustus 2012

Kamis, 16 Agustus 2012

Jika Dipaksakan Sepohon


Jika dipaksakan sepohon,
Hal apa yang 'kan membuatmu nyaman bernafas dalam tekanan?
Jika dipaksakan sepohon,
Kata apa yang akan terucap lewat bibir yang kaku?
Jika dipaksakan sepohon,
Sepohon belum tentu seteduh...
Mampukah membagi duka di bawah liuk dedaunan yang menyaring maharani?
Jika dipaksakan sepohon,
Enyahkah seonggok ego yang mengendap diam-diam di hati?
Jika dipaksakan sepohon,
Akankah rintik gerimis yang menjatuh 'terpaksa' dari lengkung daun membibiti hati menjadi saling meneduhkan?
Jika dipaksakan sepohon,
Apa kuat menahan desir angin kencang yang menghempas dan menjadikannya lebih berantakan?
Jika dipaksakan sepohon,
Enggankah menilik tentang batang pohon.
Yang akan menumbangkan rasa dalam benci.
Bukan kerindangan,
Biduri tajam di depan kita...


Kotak Imajinasi, Agustus 2012