Berada beberapa meter dari geta, saat mata
kita terperanjat dalam kerinduan tak bertepi. Hembusan angin syahdu meliuk
menggetarkan kekakuan agar tampak stabil. Riak dedaunan tak pelak membangunkan
rindu yang telah tidur tanpa suri. Masih membekas di memori--saat penghujan
mewarnai kisah tahun kemarin, kisah yang terajut hingga peghujan beralih
gersang bak ligatur yang terangkai liris, segersang taman kemilau mimpi yang
kita leburkan dalam nyata di masa depan. ‘Pun teduh tak bisa terhindar dari
memorial bersejarah dalam buku catatan. Berada dalam keeforiaan, perayaan
besar-besaran akan hadirnya kembali cinta, rindu, kasih, syahdu dan
partikel-partikel lain yang melesap dalam satu kesatuan, bergumpal di atas
puncak kedamaianku sendiri. Juga tentang waktu dan jarak, yang berpacu
melebatkan rindu yang lebih hebat dari musim penghujan. Pancaroba, seakan
berdalih akan sebab hujan berubah garang dengan tampilan sinar sang maharani
yang melegamkan pelangi. Gerimis mengering di coklatnya bekas tapak kaki yang
kehilangan jejak dalam perantauan hati. Jika penghujan memberi seuntai kisah
tentang rindu yang pecah pelan-pelan lewat ruang dengar, rindu yang menjelma
menjadi embun ditiap paginya, dalam gersang semesta menuai rindu yang tak lagi
termayakan, namun hadir bak penyejuk taman sembari memfungsikan kunci taman
yang pernah kutitipkan sebelumnya.
Raut air muka yang berpendar dan memantul di
retinaku, menggelayut anak tanya di benak yang mungkin setengah sadar. Geriak
menyodor tanya berbondong-bondong. Tak seperti peghujan kemarin, dengan
bebasnya merpati melambung tinggi menemui kekasihnya di cemara yang berguguran
daunnya, dengan ikhlasnya sayap itu mengepak dengan segenap rindu yang berpacu
dalam sepersekian detik. Dengan lihainya, disematkan setangkai mawar yang
nyaris menguncup dikekang silau raja langit. Mawar melayu di taman gersang
persimpangan jalan kenangan, tepat di samping geta teduh yang kita sebut
guyonan nyata.
Raut air muka yang berpendar dan memantul di
retinaku. Menilik kedamaian yang tertanggal agar ia benar-benar damai dalam
keputusan. Berusaha memetik kerinduan lewat kemerahan bibir. Membingkis
fragmen-fragmen imaji yang ‘kan tercicipi beberapa saat ke depan.
“Apa jadinya kedamaianmu jika kau menyusupkan
egomu dalam kelarutan kita? Mawar telah melayu namun tak perlu disangsikan
ketegarannya. Cukup mengangguk, jika damai benar ada dalam tegarnya mawar.”
Sejoli merpati itu saling merekah senyum, salah satu diantaranya tampak bermain
mata seraya mengepakkan sayapnya. “Sayang, kita masih punya waktu” katanya,
lalu terbang.
“Namun hingga waktu semakin mendesak dan
merdeka di tengah kekalutan, aku masih juga menunduk dan menghindar dari
matamu, retinaku menyeembunyikan banyak butir-butir harap yang tak ingin kutumpahkan
di hadapanmu.” Merpati yang berpijak di cemara gersang itu kini menelangsakandiri di telaga air mata. Ingin sekali kembali ke geta teduh itu. Ia melirik
pada sayapnya yang berdarah nanah. “Sepertinya sudah tidak ada harapan.” Gumamnya, menengadah ke
langit lalu terpulas.
Kotak Imajinasi, Agustus 2012