Sabtu, 06 Februari 2021

TENTANG SEBUAH KEHILANGAN


Rabu itu—untuk kali ketiga aku terbaring sembari menunggu persiapan operasi di ruangan yang tak asing lagi di pandanganku di satu tahun terakhir ini. Ruangan steril dengan berbagai alat medis lainnya. Mesin anastesi, bukan lagi mesin yang menakutkan. Instrumen bedah? Hahai, benda-benda itu hanya berada hingga pandanganku. Aku tak tahu bagaimana benda-benda tajam itu membedah bagian tubuhku, karena obat bius sudah membuatku nge-fly dan hilang kesadaran hingga akhir o
perasi. Ya, aku sedang berada di operation theatre Rumah Sakit Siloam.

        Awal Januari, aku mengalami anosmia, kehilangan indera penciuman secara normal. Parfum, sabun, dan skin care yang kental dengan wangi khasnya tak tercium sama sekali, aroma membahana pup Jinan tumben sekali tak menusuk-nusuk hidungku, padahal hidungku tipe pendengus yang luar biasa tajam. Mengingat cyrcle suamiku rentan terkena Covid, akhirnya aku pun memutuskan untuk melakukan Swab. Alhamdulillah, Swab keluar dengan hasil negatif.

Atas saran suami, aku memutuskan untuk tes kehamilan karena bisa jadi aku mengalami anosmia pengaruh dari kehamilan. Feeling-nya beberapahari ini memang mengisyaratkan bahwa aku hamil ternyata benar. Sangat berbeda saat kehamilan pertama yang ditandai dengan mual-mual. Tespek itu menunjukkan dua garis dengan sangat jelas. Aku bersyukur, Allah memberikan waktu yang tepat untuk segera hamil lagi tepat di usia anak pertamaku Jinan berusia 3 tahun.

Interval tiga tahun untuk bisa hamil lagi adalah waktu yang pas sesuai anjuran dokter untuk kondisiku yang saat itu melahirkan secara C-Section dengan persalinan kala dua. Padahal, kami tidak sedang melakukan program kehamilan khusus ke dokter obgyn. Ya, lebih tepatnya let it flow aja sih, karena kami percaya Allah akan memberikan rezeki kehamilan di waktu yang tepat. Tentunya dengan ikhtiar menjaga pola makan dan kekuatan doa. Aku bergegas menelepon rumah sakit dan membuat janji temu dengan dokter Lenny, dokter spesial kandungan di RS Siloam Makassar. Aku dinyatakan hamil meskipun gambaran ultrasonografi atau akrab disebut USG menampilan kantung rahim saja. Sebelum pulang, aku diresepkan obat penguat folamil dan duphaston.

Saat dinyatakan positif hamil, segala aktivitas yang kulakukan seperti biasanya mulai selektif aku kerjakan. Syukurnya, aku masih menikmati WFH-ku. Pasca mengajar atau di sela-sela meeting ataupun brieving, aku selalu menyempatkan rebahan dan meminimalisasi pekerjaan berat. Mengontrol agar tidak mudah stres juga menjadi sebuah keharusan. Padahal tidak dipungkiri, pikiranku seringkali masih terbayang-bayang dengan gempa dahsyat di Mamuju, yang merupakan tempat tinggal keduaku, dan sederet berita bencana dan duka lainnya.

  Beberapa hari kemudian, aku mendapati flek kecokelatan. Namun, aku merespons dengan biasa aja karena masa hamil muda, nge-flek itu lazim terjadi sebagai tanda  perlekatan sel telur yang mengalami pembuahan pada dinding rahim, begituu kata mbah gugel.  Berbeda dengan kehamilan pertamaku yang hanya sekali saja mengalami flek. Kehamilanku kali ini, flek seringkali terjadi. Aku mulai gusar dan gelisah, dan akhirnya memutuskan untuk reservasi dengan dr. Lenni. Beliau mengatakan bahwa janinku baik-baik saja, dan berkembang sesuai ukuran, tepatnya berusia 6 minggu. Hari itu aku sangat bahagia, detak jantungnya telah terdeteksi melalui pemeriksaan USG. Aku kembali diresepkan obat penguat dengan tambahan cygest suppositoria 400 mg, obat penguat yang mengandung zat aktif progesteron, dan dimasukkan melalui vagina.

Aku manut dengan saran dokter untuk bedrest total dan berjalan seperlunya. 80% aktivitas yang kulakukan pasca check up berkisar tempat tidur, meja kerja, dan toilet. Flek mulai berkurang di beberapa hari pertama. Akan tetapi, di hari-hari selanjutnya flek itu datang kembali membuatku cemas, bahkan naik tingkat menjadi bercak darah saat buang air kecil. Aku kembali khawatir dan tentunya memiliki sifat panikan menambah lebih berat rasa cemasku saat itu. Aku kembali gercep mengecek kehamilanku.

Saat dicek melalui USG, janin beserta kantungnya tidak nampak dilayar USG tersebut. Sebenarnya aku mulai panik, tapi dokter selalu menekankan untuk lebih rileks. dr. Lenni mencoba mengecek melalui USG transvaginal. USG transvaginal ini dilakukan untuk memberikan gambaran rahim yang lebih jelas di awal kehamilan. Aku mulai berbaring telentang dengan posisi kaki terbuka sambil menekuk lutut. Kemudian dokter memasukkan tongkat USG yang sudah diberi kondom dan gel pelumas ke dalam vagina. Saat itu, tongkat USG menampilkan gambar bagian pinggul pada layar. Di layar, dokter menjelaskan bahwa janin sebesar blueberry yang nampak berada dalam kondisi baik dengan denyut jantung yang normal, meskipun pada akhirnya dokter menyampaikan dengan sangat halus bahwa kandunganku saat ini agak lemah dan menyarankanku untuk kembali full bedrest kurang lebih hingga dua pekan ke depan.

Aku mulai curiga dengan pernyataan dokter tersebut sehingga betul-betul mengikuti instruksinya untuk istirahat dari segala aktivitas. Sebisa mungkin aku menampik hal-hal buruk yang kadang melintas di pikiranku, segala hal positif kukembangkan di benakku. Mulai menonton film kartun, komedi, dan membaca buku motivasi adalah usahakan untuk memblokir segala pemikiran buruk mengenai kehamilanku ini.

Support system yang paling bisa diandalkan memang berasal dari keluarga. Suami selalu memberikan afirmasi positifnya, orang tua yang mengambil alih segala kewajibanku untuk mengurus Jinan yang sedang aktif-aktifnya. Aku benar-benar bisa istirahat dengan tenang di kamar. Hingga pada akhirnya, aku merasa menggigil, pinggulku rasanya keram, dan aku kembali mengalami perdarahan ringan. Aku mulai gemetar, padahal darah itu hanya setes dua tetes. Bagi ibu hamil, itu adalah sesuatu yang perlu diwaspadai. Saat aku kembali rebahan, perdarahan mulai berhenti hingga satu hari ke depan aku merasa aman.

Namun, di keesokan harinya. Perasaanku mulai berkecamuk, perasaan ini bukan soal nyeri fisik apapun,  tetapi ada sebuah rasa yang tak karuan dibenak dan dipikiranku sehingga aku berinisiatif  ke UGD rumah sakit. Sepanjang malam sebelumnya, tidurku sangat terganggu dengan perasaan yang tidak jelas itu. Ada sebuah kesedihan yang terus menerus ingin mendorong air mataku mengalir walaupun aku terus-menerus menampik perasaan itu dengan bergegas menutup mata. Aku tak tahu kesedihan apa yang sedang kuratapi malam itu.

Dokter jaga mulai mendeteksi gejala awalku dan menuntunku untuk rebahan di ruang UGD sambil menunggu dr. Lenni datang. Selang beberapa menit, dr. Lenni mulai mendeteksi kehamilanku melalui USG Transvaginal. Dan.... aku menemukan garis merah di layar USG, yang menandakan bahwa jantung janinku tak lagi berdetak. Yang ditegaskan dengan pernyataan dr. Lenni yang menyatakan bahwa janinku tidak berkembang. Dokter baik itu mulai memberiku kalimat-kalimat penyemangat. aku kembali menanyakan pernyataan itu dengan mata yang berkaca-baca. “Dok, coba periksa lagi”. Akhirnya dokter mulai menjelaskan maksud dari gambaran USG di layar dengan sangat detail. Aku tidak begitu memedulikan apa yang disampaikan dokter karena fokusku buyar seketika. Aku menunduk dan suster memberikanku tisu. Dokter dan suster seolah memberikanku ruang untuk bersedih lebih lama. Setelah merasa agak tenang dan dapat mengendalikan diri, dr.Lenni mulai menjelaskan dan mendiagnostik dilanjut dengan tindakan yang selanjutnya harus dilakukan, yaitu operasi kuretase. Operasi kuretase adalah pembedahan yang dilakukan setelah janin telah gugur di dalam kandungan. Banyak yang bilang kalau kuret itu menyakitkan sehingga menimbulkan rasa takut. Padahalnya sama sekali tidak. Prosedur yang dilakukan sama seperti operasi pada umumnya dengan suntikan obat bius melalui infus. Aku pun tidak merasakan paranoid sama sekali untuk menjalani itu, selain karena tindakan inilah yang terbaik untuk kesehatanku selanjutnya dibandingkan hanya meminum obat peluruh, mungkin karena aku familier berada di ruang operasi yang sama belakangan ini. Aku berharap inilah kali terakhir bertemu dengan operation theatre ini. Kecuali jika aku diizinkan kembali melahirkan dengan tangis kebahagiaan di ruangan ini. Gapapa ku ikhlas. hehe

Setelah sadar, semua rasanya seperti tak terjadi apa-apa. Sakit yang dirasa hanya sebatas hati yang merasakan kehilangan. Ada sesuatu yang terasa terenggut dari hatiku.

-----------

Apa sih yang ada dibenak kita saat sesuatu yang kita miliki itu hilang? Mungkin karena tercecer, terjatuh, rusak, atau istilah yang lebih naas-nya, raib di telan bumi. Tak dipungkiri, sedih, kecewa, gundah dan gulana menjangkiti hati kita. Perasaan kehilangan itu begitu rumit berkecamuk di alam pikiran kita, menggerayang ke manapun kaki melangkah. Tergugu sedih akan lenyapnya sesuatu yang berharga itu, tertikam sesak seharian, dan suuzon hari-hari gelap mulai menemani.

Sembari menunggu persiapan kamar perawatan oleh suster, aku merenung seraya menyeka air mata yang terus menerus mengalir. Aku kehilangan sesuatu yang tak pernah kulihat wujudnya secara nyata. Mungkin ini yang disebut ketulusan cinta, merasa kehilangan tanpa pernah bertemu sama sekali. Hanya memandanginya lewat layar USG di setiap kali check up.

Aku menemukan diriku remuk dan tidak berdaya. Tak ada sakit di fisikku sama sekali, yang ada hanya luka di hati yang teriris-iris bak sembilu. Aku kehilangan buah cintaku. Rasa bersalah mulai menghantui dan berulang-ulang kali flashback ke hari-hari kemarin. Apa yang khilaf kulakukan hingga  kejadian ini bisa terjadi? Padahal aku benar-benar konsisten mengikuti anjuran dokter. Makan teratur dan bergizi, istirahat total, obat yang tak pernah ter-skip sebiji pun, dan afirmasi positif yang terus menerus dilebatkan di kepalaku. Aku mulai menerka-nerka kesalahan yang kembali menambah beban kesedihanku. Pada akhirnya, orang-orang terdekatkulah dan juga dr. Lenni yang sangat berperan untuk memberikanku support dan semangat.

Aku mulai mengumpulkan kekuatanku kembali. Rasa simpati yang diperlihatkan oleh dr. Lenni begitu berharga untukku, bahwa ini sudah menjadi ketentuan Tuhan. Tuhan mengembalikan dia dari rahimmu karena itulah yang terbaik. Kita tidak tahu, bisa jadi jika ia terus menerus bertahan dengan kondisi yang lemah di dalam kantung rahim, janinnya akan berkembang dengan kurang baik pula, atau muncul komplikasi baru yang dapat memperparah keadaannya dan keadaanku. Tuhan adalah perencana terbaik, Dia Pengasih dan kembali akan menghadiahkanmu rezeki kehamilan di waktu yang paling tepat dan kondisi yang jauh lebih sehat.

Sebagai seorang ibu, rasa terluka tentu tak dapat ditampik. Menangis adalah sesuatu yang wajar untuk dilewati. Tentu dengan menangis, beban akan jauh lebih berkurang. Rasa denial menyerbu dalam benak di hari-hari pertama. Syukurnya, pelukan suami adalah tempat mengeluh yang paling adem. Dan akhirnya aku berada pada fase menerima. Aku kembali melanjutkan hidupku seperti sedia kala, ini dengan dibuktikan dengan teselesaikannya tulisan ini. Hehe.

Kehilangan janin di usia delapan minggu, yang kusebut janin ukuran blueberry-ku itu memberikan banyak pelajaran. Bahwa jika Allah telah berkehendak, tak ada yang bisa menghalanginya. Kematian itu pasti, kita hanya tinggal menunggu giliran kita saja. Si Janin Blueberry-ku juga memberikanku satu hal yang begitu berharga, bahwa aku harus tetap melanjutkan hidupku karena ada Jinan, mantan calon kakaknya yang harus kembali dalam pelukanku, untuk harus aku didik, aku rawat, dan asuh dengan sepenuh hatiku. Aku sangat berterima kasih padamu, si Janin Ukuran Blueberry-ku, kehadiranmu selama delapan minggu memberikan banyak hikmah dalam hidupku. Inilah cara Allah Swt meng-upgrade rasa sabar, ikhlas, dan syukur ku agar jauh lebih lapang dan kuat dengan ujian-ujian hidup selanjutnya. Sekali lagi, terima kasih, Janin Ukuran Bluberry-Ku. Kamu tetap hidup di hatiku. Kami ikhlas melepasmu karena kami yakin, ketika hati kita telah ikhlas dan banyak bersyukur, Allah Swt akan menggantikan nikmat itu berkali-kali lipat.