Sabtu, 06 April 2013

Intermeso dalam seteguk kopi


Jika ada yang mengatakan “bermimpi itu gratis, maka bermimpilah setinggi-tingginya. Menurutku mimpi itu begitu mahal harganya. Mimpi yang yang kurangkai selalu harus kutebus agar ia tak sekadar mimpi belaka, tapi harus diperjuangkan untuk menjadikannya nyata. “Berani bermimpi berani me’nyata’kannya jua.”
Kemarin, sepupu jauhku baru saja kembali dari Toraja. Ia membawakan ole-ole sebuah gelang unik khas Toraja dan sebungkus kopi toraja. Katanya, kopi itu sangat nikmat. “Tambahkan tiga sendok gula, kau akan merasakan kenikmatan yang Ruarrrrr biasa” serunya seperti SPG-SPG yang menjajakan dagangannya. Aku hanya mengangguk pelan seakan tertarik dengan promosinya, padahal aku kurang tertarik dengan minuman hitam pekat itu. Jangankan mencobanya, membuat secangkir kopi pun aku tidak sudi.

...
 
Saat senja singkat nan cantik telah mengurung diri di peraduannya, ayah menyuruhku membuatkan segelas kopi, namun kutawarkan ia mencicipi kopi toraja yang diberikan oleh sepupu jauhku itu. Ayah mengangguk pelan, kuikuti saran sepupuku dengan menambahkan tiga sendok gula. Aku pun mengantarkan kopi itu ke teras rumah, tampak ayah sedang larut dengan berita yang sedang dibacanya. Kuamati ayahku lekat-lekat, menunggunya hingga ia meneguk kopi itu. tegukan pertama, biasa saja. Tegukan kedua, biasa saja, hingga pada tegukan terakhir, tak kudapati raut wajah ayah yang merasakan kenikmatan berbeda dari kopi toraja ini.
“Bagaimana rasanya, Yah?”, tanyaku agresif.
“Biasa saja, kurang manis !” Jawab Ayah dengan cueknya.

Aku kembali masuk ke dalam rumah dengan wajah yang setengah heran. Aku termenung di teras belakang rumah yang terhubung dengan dapur. Memang kelihatan kikuk untuk membuat segelas kopi saja. Dari situ aku mulai gusar pada diriku sendiri. Membuat segelas kopi yang kuanggap Ruarr biasaaa saja, masih dinilai yaaa... biasa-biasa.



 Seperti biasa, di mana dan kapanpun, bayangan seorang lelaki yang kini tak lagi menjadi kekasihku, selalu saja nongkrong di pikiranku dengan matanya yang tidak pernah bisa kutatap dengan sempurna. Aku lalu mencoba membuat kopi toraja tanpa melarutkan tiga sendok gula. Kularutkan tiga sendok makan pada cangkir berukuran sedang dengan air panas. Kuaduk merata, dengan sedikit bimbang aku mencoba meneguk kopi itu. Dan rasanya, sangat amat tidak menarik. Kuulangi hal gila itu beberapa kali dalam seminggu sembari mengenang seorang lelaki humoris itu, dengan harapan wajah lelaki itu sepahit kopi  agar aku tidak tertarik lagi padanya.

Sebulan kujadikan hal itu rutinitas wajibku di tiap malamnya, namun aku merasa statis. Tak ada yang berbeda. Argumenku yang mengatakan bahwa “kerikil akan tetap menjadi kerikil meski ia berada di padang pasir sekalipun harus ku patahkan.” Lalu kujadikan ia mimpi, mimpi menjadikan lelaki yang kini tak lagi menjadi kekasihku itu menjadi PAHIT. 

Berbulan-bulan rutinitas itu tak pernah luput dari lupa, namun tak ada yang berbeda. Yang ada, malah mataku kini sudah seperti mata panda akibat begadang yang tak terencanakan, begadang akibat pengaruh kopi yang kuteguk di tiap malamnya. Aku kembali merenung di teras belakang rumah dengan mengibas-ibas nyamuk dengan sebuah baki. Aku menengadah ke bulan yang tinggal setengah, bulan itu seakan berkata “Bagaimanapun pahitnya kopi yang kau teguk, jika terbiasa… kau akan merasakan kenikmatan tersendiri”. 

        Hmmm, sepertinya bulan itu memang benar, tanpa kusadari aku telah menikmati kopi itu tanpa meringis kepahitan. Padahal kopi itu kopi yang  biasa saja, bukan kopi toraja, bukan pula kopi dengan larutan gula tiga sendok makan.

      Lantas bagaimana dengan lelaki yang kini tak lagi menjadi kekasihku itu? Kuamati lekat-lekat pusaran kopi yang baru saja kuaduk, di sana kutemukan jawaban “Setiap kisah itu tak ada yang pahit, begitu juga dengan lelaki itu. Ia pernah menjadi gula di kehidupanmu, namun bukan berarti ia kini sepekat kopi. Ia tetap manis, hanya saja itu tak bisa kau nikmati sebab selera manismu telah berbeda. Cobalah peka pada gula yang bertebaran di sekitarmu, mungkin itu lebih manis. Hanya soal kepekaan saja. Putaran di pusaran itu akhirnya berhenti

Akhirnya impiku itu telah terwujud. Tanpa dendam dan kecewa, kutanggalkan gula yang pernah memaniskan kehidupanku. Membiarkan ia menggulai kehidupan-kehidupan yang ia inginkan. Hanya masalah kepekaan, ternyata sangat banyak rasa gula yang kutemui di sekitaranku, terlebih jika dinikmati dengan secangkir kopi.  

Sabrianti.