Selasa, 02 Maret 2021

KALSIUM, KALIUM, DAN MAGNESIUM VERSI SEORANG IBU


            Anas tiba di sekolah dengan seragam yang kusut dan rambut yang acak-acakan. Tidak hanya seragam yang kusut, wajahnya pun tak kalah kusutnya. Rambutnya yang acak-acakan, terlebih hatinya yang beriak. Seperti biasa persoalan klasik yang sama di setiap paginya. Ia kena semprot lagi oleh ibunya yang berusaha membangunkannya, tapi ia tak mengindahkannya. Malah semakin kencang teriakan Ibu dari meja makan, semakin kuat pula tarikan iblis mengelabui tangan Anas untuk menggembungkan selimut ke tubuhnnya. Hingga akhirnya, Ibu sudah berada tepat di sisi ranjang Anas. Mengawasinya untuk bangkit dari peraduannya dan bergegas berangkat ke sekolah. Setengah jam lagi waktu menunjukkan pukul 07.30. 30 menit bukan waktu yang banyak untuk menghindari keterlambatan. Ibu hanya pasrah dan geleng-geleng kepala.

            Jadilah sarapan nasi goreng beraroma sambal matah dan telur setengah matang berlalu begitu saja. Anas hanya melintas, terpaksa mengabaikan aroma sedap yang menggerogoti penciumannya itu. Lalu dengan langkah seribu mengebum motornya menuju sekolah. Tentunya, tanpa salam, makan, dan senyuman. Yang ada hanyalah geram, kesal, dan tentunya lapar.

            Belum selesai perkara di rumah, kesalnya berimbas hingga ke sekolah. Anas dihukum membersihkan toilet sekolah. Ia sudah berada di depan toilet siswa pria yang aromanya sungguh tidak mudah dibayangkan. Ia berdiri sejenak untuk mempersiapkan diri memasuki ruangan yang paling bau sejagad raya itu. Selama mengerjakan hukumannya, mual yang dirasakan Anas hampir setiap detik.

            Sepulang sekolah, Anas tidak langsung pulang ke rumah. Ia transit di Pandora Cyber Cafe, tempat bermain game online yang nyaman dan sekaligus tempat kongko yang paling gaul di Makassar. Selain karena ia memang hobi bermain PUBG Mobile—gim pertempuran hingga menyisakan satu pemain ini memang sungguh menguji adrenalin untuk anak seusia Anas. Kompetitif dan seru katanya. Alasan kedua, karena hatinya belum bisa damai dengan emosi jiwa di pagi hari. Ia masih dongkol dengan segala ke-apes-annya pagi tadi. Belum genap setengah jam asyik ber-PUBG ria, Ibu sudah meneleponnya dan menanyakan posisinya. Anas sekadar meng-iya-iya saja menjawab pertanyaan ibunya dari balik telepon. Sepuluh menit kemudian, ponselnya kembali berdering. Anas kembali meng-iya-iya saja, dan menutup teleponnya tanpa salam apapun. Matanya kembali fokus ke depan layar komputer. Ia tepok jidat. Ia kalah dalam pertempuran gim itu.

            Kesal Anas makin menjadi-menjadi. Deringan telepon dari ibunya yang kesekian ini benar-benar membuatnya murka.

            “Ada apa lagi, sih?”, jawab Anas ketus. Keningnya mengernyit hingga membentuk angka sebelas.

            “Kamu ini di mana? belum pulang juga. Ibu sudah siapin kamu makan siang, loh!”, Ibu mulai khawatir sekaligus jengkel dengan anak semata wayangnya itu. Tadi pagi Anas tidak sempat sarapan, dan jam istirahatnya di sekolah digunakan untuk membersihkan toilet sekolah. Ditambah ia lupa mengambil uang jajan yang disediakan ibunya di atas meja belajar.

            Sebenarnya, emosi Ibu Anas pun mulai terpancing akibat ulah anak lanangnya itu. Akan tetapi, ia mencoba meredam ego untuk meluapkan amarahnya itu karena ia tahu semakin Anas mendengar nada tinggi ibunya, semakin enggan ia untuk lekas pulang ke rumah. Ibunya khawatir Anas tidak makan dan penyakit gastritis akutnya kembali kambuh.

...


            Matahari sudah mulai beristirahat, sejak pagi hingga petang tugasnya menyinari bumi bagian timur tuntas sudah. Seperti matahari yang lelah itu, Anas pun kembali ke rumah tepat ketika azan magrib berkumandang. Lagi-lagi ia melintas dan berlalu di hadapan ibunya yang pura-pura cuek atas kepulangan Anas. Padahal, hati ibunya yang gelisah seharian pelan-pelan lega melihat sosok yang dinantinya sejak siang tadi akhirnya pulang.

            Selepas magrib, ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar Anas. Dengan nada hati-hati mengajak Anas turun ke meja makan untuk menyantap hidangan makan malam yang telah disuguhkan ibu dengan penuh kasih sayang. Chicken Fillet dan sambal Roa, makanan kesukaan Anas pun telah nangkring di sana. Ibu sengaja menyediakan itu semua demi mengembalikan mood Anas yang “hujan” seharian.

            Bukannya disambut senyum, dengan ketus Anas malah menjawab sesuatu yang tak terduga “Makan aja sendiri. Saya mau tidur saja”.

            Kalimat itu seperti pisau yang tertancap di dada Ibu. Ia merasa menjadi ibu yang sangat gagal dalam membahagiakan Anas. Dari balik pintu kamar Anas, ada tetesan tangis yang meluncur perih di pipi. Makan aja sendiri... kalimat itu mendengung hingga ke seluruh sudut-sudut pikiran Ibu. Ia merasa tidak dipedulikan oleh anaknya sendiri. Apalagi semenjak Ayah Anas meninggal, Ibu menjadi sangat sensitif. Padahal Anas sudah menjadi orientasi dan prioritas Ibu.

            “Kamu ini kenapa? Perutmu itu seharian tidak menyentuh nasi. Kalau kamu sakit, siapa yang repot? Turun makan sekarang!”, pinta Ibu yang digerayangi pikiran tak menentu. Antara khawatir, gelisah, marah, dan kecewa pada Anas.

            Anas akhirnya keluar dari kamar. Bukan perintah Ibu yang menekannya untuk mengerik daun pintu, tapi karena tersulutnya emosi yang yang telah terakumulasi sejak pagi tadi.

“Ya sudah kalau Ibu merasa direpotkan selama ini dengan keberadaan saya. Saya pamit dari rumah ini”, Anas memunggungi tas ranselnya.

Anas berlalu menyelatani ibunya yang diam seribu bahasa. Bukan lagi pisau yang menancap tepat di dada Ibu, kini sembilu yang meremukkan hatinya. Kalimat untuk mencegah Anas pergi dari rumah pun rasanya berat untuk dikeluarkan. Kini matanya tak lagi gerimis, tetapi hujan deras menderanya. Perasaannya tak lagi mendung, tapi diterpa badai kesakithatian. Lagi-lagi, ibu menyalahkan dirinya sendiri karena sudah gagal mendidik Anas.

...

            Anas minggat dari rumah dengan bermodalkan seragam sekolah dan beberapa buku yang dicomotnya dari meja belajar. Sedikit beruntung, ia juga sempat mengambil uang jajan yang disimpan ibunya tadi pagi tepat di atas buku yang dicomotnya itu. Paling tidak, bisa untuk bertahan hidup selama sehari. Anas memutuskan untuk ke Pandora Cyber Cafe karena bingung harus ke mana dengan uang yang tak seberapa itu. Baru kali ini ia ke sana tanpa bermain PUBG, padahal ia sangat tergiur melihat temannya tenggelam dalam pertempuran hebat di gim itu. Ia memesan indomie goreng lengkap dengan telur mata sapi. Ia begitu lahap dan sangat menikmatinya.

            Anas bertemu dengan Didit, teman sekelasnya yang juga hobi bermian PUBG di kafe yang buka hingga 24 jam itu. Itu pula salah satu alasan Anas memutuskan ke sana karena ia mengandalkan temannya untuk ikut pulang dan numpang tidur di rumahnya. Anas pun akhirnya bisa tertidur nyenyak di rumah Didit. Ia merasa kelelahan sekali karena pikirannya begitu berat hari ini. Seharian emosi negatif membebaninya. Belum lagi asupan makan yang kurang membuatnya semakin lemas dan akhirnya tertidur di kamar Didit.

            Sedang dari kamar yang berbeda. Ada seorang Ibu yang masih bergelut dengan kesakithatiannya, kesendiriannya, dan ketidakberdayaannya. Segala kesedihan itu bercampur dengan kegelisahan dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri ke mana Anas pergi, di mana Anas tidur, dan amankah dia di tengah malam begini. Beberapa nomor telepon teman Anas yang tersimpan di kontak HP-nya akhirnya diteleponnya satu-satu. Meskipun tak satu pun yang mengangkatnya karena jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

            Syukurnya, Ibu terhubung dengan Ibu Indar, guru Biologi sekaligus wali kelas Anas. Setelah menjelaskan detail permasalahan, Ibu Indar melakukan kroscek segera. Bukan Ibu Indar jika ia tidak dapat menemukan di mana keberadaan Anas. Akhirnya Ibu mulai sedikit lega mengetahui Anas berada di rumah Didit.

....

            Jam pelajaran pertama segera dimulai. Anas dan Didit sudah berada di kelas berpapasan saat Mang Karim—bujang sekolah membuka kunci kelas. Terlalu pagi untuk Anas. Didit pun heran, tumben sekali Ayahnya mengantarnya ke sekolah dan sepagi ini pula.

            “Selamat pagi Anak-Anak...”, sapa Ibu Indar sebelum memulai pelajaran. Siswa kompak membalas salam Ibu Indar.

            Ibu Indar membawa semangkok mie instan dengan taburan cabe rawit yang lumayan banyak. Kira-kira lima biji yang dipotong menjadi beberapa potongan. Juga segelas air mineral di gelas bening yang ditaruhnya di atas meja guru.

            “Hari ini kita akan belajar tentang kandungan yang ada dalam air”, Ibu Indar mulai menjelaskan materinya.

            “Sebelum masuk ke materi, Ibu tanya dulu pada kalian. Siapa di sini yang tidak membutuhkan sosok seorang Ibu?”, tanya Ibu Indar membuat siswa bertanya sambil menatap satu sama lain. Mereka menggeleng pelan.

            “Ada yang lahir bukan dari rahim seorang Ibu?”, pertanyaan Ibu Indar kali ini meriuhkan kelas dengan cekikikan.

            “Tania, seberapa pentingkah sosok Ibu dalam hidupmu?”

            “Penting banget, Bu. Seorang ibu tidak hanya telah melahirkan saya, tetapi juga mengasuh dan mendidik saya.”, jawab Tania.

            Baik anak-anak. Pertanyaan selanjutnya.

“Siapa di sini yang tidak membutuhkan air dalam hidupnya?”, Ibu Indar mulai mengapersepsi.

            “Saya Bu. Aku tidak butuh air. Air mata maksudyaaa...”, seru Doni mencoba melawak.

            “Huuuu”, para siswa mencibir.

            “Ya nggak ada lah, Bu. Wong tubuh kita isinya hampir 60% adalah air. Ya kan Bu?”, jawab Doni lagi sambil menunjukkan ekspresi bangganya.

“Betul Doni. Selama kita hidup, air menjadi komponen utama dalam tubuh kita, yaitu sekitar 55% hingga 60% pada dewasa. Pada anak-anak bahkan mencapai 75%. Jadi, Ini menandakan bahwa dalam menjalani kehidupan, sejak bayi hingga renta, terhidrasi adalah harga mati. Kekurangan asupan air dapat menyebabkan beberapa dampak negatif bagi tubuh kita. Seperti kehilangan cairan tubuh, terjadi gangguan pengaturan temperatur tubuh, dapat mengakibatkan hilangnya nafsu makan. Dehidrasi juga dapat mengakibatkan gangguan pada saluran pencernaan, bahkan kematian.”, terang Ibu Indar sembari mengarahkan siswa untuk memperhatikan segelas air yang dipegangnya.

“Nah, sekarang. Ibu akan memberikan sarapan gratis untuk satu orang beruntung di kelas ini”, tawar Ibu Indar.

Mata Ibu Indar menjejal ke seluruh bangku dan berhenti tepat di mata Anas.

“Ya, Anas. Silakan diicip makanan buatan Ibu ini”, Ibu Indar mengarahkan Anas untuk maju ke depan dan memakan Indomie goreng telur itu.

Dengan segan Anas memakannya seraya bertanya-tanya dalam hatinya. Materi apa yang Ibu Indar hendak sampaikan ini sampai mengharuskannya makan mie segala”.

Baru tiga suap, Anas sudah merasa kepedisan. Sambil mengunyah, ia melirik tajam ke segelas air yang ada di meja guru.

“Bagaimana? Enak?”, tanya Bu Indar.

“Ee.. enak, Bu”, terang saja ia mengatakan itu, karena jika ia mengingkari itu ia sudah tahu akibatnya akan seperti apa.

“Bu.. boleh minum, Bu.”, Anas kembali melirik ke segelas air itu.

“Silakan duduk, Anas”, Ibu Indar mengalihkan permintaan Anas. Siswa yang lain tertawa kecil melihat tingkah Anas yang kepedisan tanpa digubris sedikit pun oleh Ibu Indar.

“Seberapa pentingkah air bagi manusia?”, Bu Indar memancing jawaban siswa.

            Beberapa siswa mengemukakan jawabannya secara rasional.

            “Jadi anak-anak, kira-kira. Kalau kita dipaksa memilih, antara hidup tanpa air atau hidup tanpa air, kalian akan memilih yang mana?

            Siswa kembali mengemukakan pendapat dengan pertimbangan pribadinya, ada pula yang tidak memilih sama sekali. Sulit, katanya.

“Nah, anak-anak. Kandungan yang terdapat dalam air, di antaranya adalah kalsium, sodium, kalium, magnesium, bikarbonat, dan zat-zat lainnya yang berfungsi penting menjaga kesehatan tubuh Kalsium adalah zat yang dikenal memiliki fungsi penting untuk menjaga kesehatan dari organ tulang agar terhindar dari proses pengeroposan tulang dan menjadikan gigi kuat dan terhindari dari berbagai penyakit gigi. Sodium berfungsi menjaga kadar air di dalam tubuh. Jika ketersediaan Sodium tidak seimbang, bisa menyebabkan kerusakan dan gangguan pada sel tubuh. Tak lupa dengan kandungan magnesium yang bermanfaat sebagai zat pembentuk sel darah merah berupa zat pengikat oksigen dan juga hemoglobin. Ada pula kalium, elektrolit yanng berfungsi untuk menghantarkan informasi melalui saraf, berfungsi untuk menjaga otot-otot pada tubuh agar bisa berkontraksi dengan tepat dan juga kuat. Kalium juga membantu berdetaknya jantung, membantu distribusi nutrisi sel-sel tubuh, dan pemeliharaan tulang. Dan masih banyak lagi kandungan dalam air yang bermanfaat untuk tubuh kita.

“Luar biasa ‘kan kandungan air bagi kehidupan kita?”, Ibu Indar mengajukan pertanyaan retorisnya. Siswa mengangguk-angguk paham sembari mencatat penjelasan Ibu Indar.

Begitu pula sosok Ibu, anak-anakku sekalian. Kita tidak akan hadir di dunia ini jika Ibu kita tidak berjuang mempertahankan dan menjaga kita sejak berwujud janin hingga menjadi manusia utuh seperti saat ini.

Kita tadi sudah mempraktikkan, ketika Anas makan dan dia kepedisan. Apa yang dicarinya? Tentu adalah air. Harus ke sekolah tapi air di rumah tidak mengalir, Pede nggak kita ke sekolah dalam keadaan bau karena nggak mandi?

Begitu pula Ibu, seperti air, sumber kehidupan kita. Jika dalam air terdapat kandungan kalsium yang menjaga kesehatan agar terhindar dari pengeroposan, ibu kita adalah sosok yang menjaga kesehatan kita agar tidak mudah sakit. Sarapan, makan siang, makan malam selalu disediakannya, agar kesehatan kita senantiasa terjaga.

Jika di dalam air mengandung sodium yang menjaga kadar air dalam tubuh kita, Ibu senantiasa menjaga kadar cintanya pada anaknya. Perlu bukti? Mungkin kalian sering mendengar, mantan suami atau pun mantan istri. Tapi pernah nggak kita mendengar ada mantan anak? Tidak ada. Kadar cinta antara anak dan ibu itu tidak bisa dilepaskan. Ikatan batin itu terlalu kuat untuk memutuskan rantai Ibu dan Anak.

Dalam air terdapat kandungan magnesium yang bermanfaat sebagai zat pembentuk sel darah merah berupa zat pengikat oksigen dan juga hemoglobin. Ibu pun adalah sosok yang membentuk diri kita menjadi anak berkarakter baik. Meskipun dengan pola asuh berbeda-beda, setiap pasti akan membentuk dan mendidik anaknya agar berperilaku terikat dengan norma-norma agama dan sosial yang berlaku.

Jika dalam air mengandung kalium, elektrolit yanng berfungsi untuk menghantarkan informasi melalui saraf, Ibu kita pun demikian hebatnya seperti elektrolit yang menghantarkan kita nasihat-nasihat baik ke dalam pikiran kita, doa-doa yang baik ia hantarkan pula ke Tuhan yang Maha Esa demi kebaikan hidup kita, anaknya.

Jadi, gerah banget kan jika kita hidup tanpa air. Tapi lebih gerah lagi kehidupan ini jika kita tidak berbakti pada Ibu kita. Jika itu terjadi, satu berkah kehidupan kita akan terputus. Padahal doa ibu yang mengalir deraslah adalah berkah yang sangat besar untuk kita.

...

Penjelasan Ibu Indar membuat siswanya terkesima, bahkan tidak sedikit yang menitikkan air mata. Tampak Anas yang menunduk dan merasa bersalah atas perlakuannya selama ini. Ibu Indar sengaja menngangkat materi ini. Setelah mendengar curahan hati Ibu Anas semalam, Ibu Indar dengan bijak mencoba menasihati Anas dan siswa lainnya akan pentingnya berlaku baik kepada Ibu.

Sekembalinya Anas dari sekolah, ia bergegas pulang ke rumah, memeluk ibunya yang telah menunggunya di meja makan. Chicken Fillet hangat dan Sambal Roa kembali terhidang di atas meja makan. Ibunya tahu, Anas tak akan lama meninggalkannya. Anas memeluk ibunya, bersimpuh memohon maaf atas khilafnya. Dengan kerendahhatian ibu, ia mencium kening Anas, “kamu adalah kehidupan Ibu, Nak”.