Untuk Sang Penjaga Taman
Senja ini mengusam
Tak seperti kemarin
Saat waktu masih berpihak
Juga kita
Kelopak mawar hampa tanpa duri
Tangkainya patah
Merahnya pudar
Lalu mati
Mungkin matahari terlalu menerpanya
Atau hujan kian memanjanya
Janji terukir
Kesaksian di atas
mawar
...Kini melayu di tanganku
Mungkinkah ia setegar lalu?
Ketika ikrar tak teringkar
Dekap tak terdepak
Dan bunga tetap padamu.
Yang kutahu kini,
Memiliki,
Adalah jalan
menuju kehilangan.
Bait Berelegi
Pinai beterbangan
Tinggalkan sang sarang
Melamban di pengembaraan
Labuh di singgasana
Merpati menujuku
Kepak sayap gelisah
Ia mengabarkan:
Kau mati di tengah jalan
Sembari tangkai patah
Sebelum hingga di genggaman
terkasih
Kelopak melayu
Mata menyayu
Pudar sang merah
Hanya darah
Tak ada mawar
Bahkan sinar
Aku menyudut
meringis
Terkulai
Memandangmu nelangsa
Kekasihku ditinggal kekasihnya
Kenduri Duka
Menatap
matamu yang jauh
Lewat kain
putih
Yang
menyudut sengsara di beranda rumah
Bekas
kenduri duka...
Saksi malam
dan keranda
Gerimis yang
garang memerangkap kami
Di telaga
air mata
Meringis
atas jasad yang baru saja
Kembali ke
peraduan abadi.
Peraduan
terakhir, Ibu.
Menyayat
hati pada manusia yang haus akan kasih sayangnya
Melumpuhkan
hidup pada kami yang rakus akan belaiannya
Pad kami
yang pernah ia semburkan lewat mulut rahimnya
Pada kami,
Yang ia
nelangsakan di tepian nisan.
Ibu
Ibu
Ibu
Cukup kau
tahu,
Kini, anakmu
menanggung rindu.
Toddopuli, September 2012
Laut dan Harapan
Hirup kesyahduhan udara sore
Menghempas penat dalam dada
Juga raga.
Debur ombak bergilir menujunya
Dengan gerik lincah, cengkram sepi.
Tampak senja,
Dengan dress jingganya yang anggun
Percikkan keelokan pada lautan
Yang kian menyurut
Seraya menyambut sosoknya yang bergumpal senyum.
Sebongkah harap demi ‘nafas esok’ telah dipeluknya
Pada laut yang ia sebut harapan
Pada laut yang ia sebut kehidupan
Pada laut yang ia juluk perekah senyum
Juga pada Tuhan,
Sang pelukis samudera.
Parangtambung, September 2012
Parangtambung, September 2012
NISAN TERINDAH
Senyap, bertalu gulita.
Gemintang tak jua bermain mata.
Gumpalan putih kaku tersayat pekat
Perangkap nelangsa, melesap menggores luka.
Gerimis yang garang, ringis kekalutan.
Remang senja…
Rinduku menggigil, senandung kenangan tersemat di dada.
Pepuisiku kini menyudut malu di lekuk sunggingmu.
Entah risau, mungkinkah samsara ?
Rona rindu kian temaram,
Tanpa kata dan nada, kukecup namamu
Dengan tinta merah di nadi.
Cinta, pasrahkan aku dalam pelukmu
Insan terindah di panggung pentasku.
CInta, laksana rintik hujan sejukkan hati
Yang kemarin teriris sembilu.
Cinta, suntinglah aku,
Gumpal bahagia di sanggasana abadi
Cinta, kukecup bibirmu
Meski perantara nisan.
Toddopuli, Juni 2012
PINTA TERAKHIR
Tumpukan resah akan rindu yang
menguap menuju langit.
Semoga cepat menjelma menjadi hujan yang akan turun di kotamu.
paling tidak, sebagai embun penghias
jendela kamarmu pagi nanti.
Kita bukan lagi dipisahkan oleh jarak
Tapi kebisuan.
Hujan telah menegurku ‘tuk
mengingatmu.
Jemariku kian memaksa menarikan bait
demi bait puisi tentangmu,
di atas kertas suci.
Sesuci niat ikhlasku mengingatmu kali
ini.
Aku telah sampai di peraduanku.
setelah kita sama-sama menunggu
kereta perpisahan di stasiun sendu yang sesak
dua puluh empat jam yang lalu.
Kau hanya mengantarku kembali ke
kedamaian, dan kau tetap di sana.
Dengarkanlah
Tepat diperbatasan senja ini,
ingin kutahtakan sang maharani
kembali mengokoh di tengah langit yang menganga luas.
Aku tak mampu dirangkul oleh gurat
malam yang mewanti
‘kan mengobrak-abrik kedua bola
mataku hingga menetes.
Aku juga tak mampu mendengar isak
gerimis yang datang melebur dalam sepiku.
Ingin sekali lagi kutanyakan pada angin
kemarin,
apa yang harus aku lakukan agar kau tetap di sini
menyejukkan hati yang ‘kan gersang
tanpa sosokmu.
Bolehkah aku menanyakan itu sekali
lagi?
Toddopuli, Agustus 2012
1 komentar:
Bacaan yang menyenangkan di tengah malam :)
Posting Komentar