Kubuka
kotak memori di akhir Desember kemarin. Tatapan lelaki itu lihai mengobrak-abrik kedua bola mataku. Entah
apa yang dicarinya. Dilucuti satu persatu bulu lentik di kelopak mataku,
lagi-lagi ia menajamkan desaknya agar kusodorkan satu kepastian. Abu-abu ku
kian memutih. “Ya, aku terima lamaranmu !” Jawabku dengan senyum simpul.
Fajar dan rembulan bergilir mengisi
hariku. Lelaki berparas tampan itu sepenuhnya telah menyerahkan jiwa raganya untukku semata, ia
rupanya tak lagi memandangku dengan biasa, namun sangat teristimewa. Enam bulan sudah kami merajut benang cinta
dalam rumah kecil yang teduh. belang lelaki itu tampak semakin jelas pula terlihat.
Seperti biasa, tiap sore aku
menghabiskan waktu di sanggar tari Kreasia, bermain gerak, melebur dengan irama
dan nada. Menyatu dengan insan yang berjiwa seni, sama sepertiku. Ujung mata
Rendra dari kejauhan mengikuti jejakku dengan awas. Ia menggenggam lenganku
erat-erat, menyeretku meninggalkan sanggar itu. Sebuah tamparan keras kembali
mendarat di pipi kananku. Sejak itu, aku putus hubungan dengan tarian dan tak
pernah lagi menginjakkan kakiku di sanggar tari Kreasia.
---
2010. December datang lagi,
Aku
masih di sini dengan segenap cintaku pada sosok yang sangat mencintaiku, cinta
yang tertuang lewat kasih sayangnya, amarahnya, bahkan bekas gambar tangannya
yang rutin menghias rupaku. Namun sayang, aku belum mampu memberikan sebuah
hadiah yang sangat diidamkannya, momongan. Aku divonis “mandul” oleh dokter
kandungan yang kudatangi dua hari yang lalu.
Lelaki
ku akhir-akhir ini agak diam dan tenang, sudah tujuh pagi ia enggan menyeruput kopi
buatanku, sudah tujuh senja pula kunikmati tanpa hadirnya. Tanda tanya
dibenakku mulai beranak pinak, tanda
yang terus menerus mengernyitkan dahiku. Tanda tanya yang berdiri sendiri tanpa
seru, jika aku harus memilih akan kusandingkan tanya dan seru itu dalam interobang.
Ia semakin asing dimataku. Hingga saat ini aku masih menunggu senja membentuk
bayangnya, nyata di hadapku, gerimis membawa sebongkah harap atas hadirnya.
Kupagari hatiku dengan bata kecintaan, kawat keyakinan, duri kerinduan, papan
asa, jati penantian, lalu ku cat dengan ketulusan. Aku merindukannya. Rindu
telah mengendap di nadiku, aku menikmati perihnya, perih merindu, perih
bergelimang tanya. Mungkinkah aku masih bertahta di hatinya, atau telah
terpinggirkan di sudut otaknya.
---
Malam
yang diam, aku terpojok sepi di atas peraduanku. Di sisi lain malam seakan
berwarna. Kedipan lampu warna-warni berputar mengitari segala insan yang sedang
dibius alkohol. Melenggak lenggok dengan mata yang sayup dan aroma mulut yang
kian membahana. Di depan meja bartender, Rendra menyeruput segelas cairan biru
bersoda, setelah habis seorang gadis berambut pirang kembali menuangkan cairan
tersebut di gelas yang sama. Mereka bercakap dengan penuh keromantisan. Sesaat
kemudian Rendra tampak merogoh sakunya dan menyodorkan beberapa lembar rupiah
pada wanita berbusana motif macan itu.
Musik bergenre hip-hop itu melarutkan penghuni diskotik hingga pagi menjelang.
---
Langit
menatapku sinis. Awan yang kaku, semilir angin menari-nari di hadapanku. Rintikan
hujan mulai sangar. Bak kenduri duka, tak kusangka malam itu adalah petaka ku. Lelakiku
itu telah kembali, namun dengan sebuah bingkisan terpahit untukku. Tamparan
terakhir, tamparan yang langsung menerobos menghancurremukkan hatiku. Rasanya
seperseribu lebih perih dari gambar tangannya di pipiku. Ia memutuskan untuk menikahi wanita lima tahun
lebih muda dariku. Wanita yang dikenalnya di sebuah ruangan remang yang kusebut
diskotik. Sebelum hatinya berpindah ke seberang sana, kulayangkan satu bisikan
di telinganya “Aku akan tetap menunggumu hingga kapanpun”.
---
Tubuhku
kembali mengalun indah mengikuti susunan
nada lembut yang terangkai dalam satu lagu instrumen. Jemariku yang lentik
lihai membentuk gerakan indah penuh makna, sesekali retinaku terkatup demi
merasakan kedamaian nyata dalam jiwa. Ruang latihan tari di sanggar Kreasia itu
sangat kurindukan, berdinding cermin, luas, dan aku selalu merasakan ketenangan
di sana, tempatku memuntahkan segala kegundahan, keluh kesah, bahkan
mencurahkan kebahagiaan. Sesungguhnya aku tak sendiri dalam ruang itu, dalam
cermin bayangku turut menari. Jiwaku hanyut dalam irama lembut itu, butiran
bening tak kuasa terjun dengan pelan meresap di bibir. Aku seakan berada di
tengah laut, terancam akan tenggelam, yang meraung meminta tolong tanpa suara,
tanpa ada pula yang mendengar. teriakku dalam sukma.
2011. December berikutnya.
Malam
segera jatuh, warna lembayung menghias langit di ufuk barat. Di seberang jalan tak
jauh dari sanggar tari Kreasia, terlihat seorang gadis yang raut wajahnya lebih
muda dariku, rambut pirangnya tergerai indah, wajahnya pucat pasi. Ia meringis
kesakitan sembari memegang perutnya yang besar. Sepertinya ini sudah bulannya,
anak yang dikandungnya itu tak sabar ingin menikmati dunia. Kupapah wanita itu menuju
rumah bersalin, kuamati dalam-dalam wajah wanita itu, di pipi kananya tampak
gambar tangan yang merah namun mulai memudar.
Seorang
lelaki tengah gelisah di depan suster yang berjaga di meja receptionist, ujung
mataku meruncing. Sosok yang tak asing lagi dipandanganku. Kuamati lelaki itu
dengan awas, lalu sesaat kemudian suster itu mengarahkan lelaki itu menuju
ruang bersalin. Di depan ruangan itu, gelisahnya semakin menjadi-jadi.
Aku
berjalan ragu mendekati sosok yang kian membuat jantungku berdenyar, terlebih
ketika bola matanya bergelinding menabrak retinaku. Aku membungkus perih
kekecewaanku lewat senyum, ku urung tanyaku dalam diam. “Tenanglah, dokter
sudah menanganinya.” Kataku, membuat Rendra mengernyitkan dahi, lalu menyebut
namaku.
Hatiku
berdesir, ia masih mengingat namaku. Lelaki ku itu tengah menanti kelahiran
anak pertamanya. Aku tak habis pikir, seberapa besar cinta Rendra pada wanita
yang telah memberikan hadiah yang diidam-idamkannya itu. satu yang kuyakini, ia
selalu menuangkan cintanya lewat pemerah pipi alami.
Beberapa jam kemudian, manusia baru yang
mengintip dari pusar ibunya itu, dengan bebasnya menghirup nafas dunia. Betapa
bahagianya Rendra dapat memeluk bayinya yang mungil itu, namun air mukanya
tampak berubah tatkala mendapati isterinya telah berpulang. Wanita lelakiku itu
meninggal setelah berhasil memperjuangkan bayinya terlahir ke dunia. Air mataku
turut bertumpahan ke bumi.
---
Bayi
cantik itu bernama Sheren. Siang malam tak luput kuberi perhatian pada anak
lelakiku itu. Sekilas tampak raut wajah Rendra di air muka anak itu, hidungnya
sama persis dengan ibunya, sepasang lesung pipit menghias pipinya.
---
Desember terakhir,
Aku tertegun tatkala Rendra menceritakan kisahnya
padaku di sebuah bangsal rehabilitasi. Diamku dihadapnya Terlalu jelas
menampakkan rasa. Di setiap diamku, disitulah kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya,
merasakan detik demi detik waktu yang seakan dipercepat. Disetiap diamku,
kunikmati kata demi kata yang terucap dari bibirnya. Disetiap diamku, tersirat harap akan jeritku
‘tuk memintanya. Bibirku tak mampu menghentikan hentakan kakinya. Menapaki
tangga-tangga perpisahan. Bagaimana mungkin, taman yang baru saja ia persembahkan
kembali untukku, ditinggalkannya begitu saja.
Penyakit itu sembunyi-sembunyi telah menjangkitinya.
Tubuhnya kurus kerontang, wajahnya pucat, lama kelamaan tubuhnya menciut di
gerogoti penyakit mematikan itu, HIV AIDS. Cinta Rendra dan Sheila saling menular,
seperti penyakit Sheila yang telah menularkan virus mematikan ke tubuh lelaki
ku itu.
“Dosa kemarin berimbas bencana, tegarmu begitu
sempurna, Mawar. Ku titip Shereen padamu, sebab kutahu besarnya cintamu padaku
akan kau tuangkan pada anakku. Cukup aku dan Sheila, semoga Shereen tidak mengalami
takdir seperti Ayah Ibunya. Mawar, Aku mencintaimu!”, malaikat baru saja turun,
merangkul lelakiku itu menuju dunia abadi.
“Mungkin
kau telah lupa dengan janjiku yang telah kuparaf di keningmu. Cintaku tak
seperti dua cahaya itu, fajar dan rembulan yang silih berganti menerangi dunia.
Aku adalah satu cahaya yang fokus
membias cintaku hanya untukmu seorang. Bahkan di matimu, aku setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar