Rabu, 10 Oktober 2012

Aliran Romantisme dalam Sastra


Apresiasi Puisi Indonesia

“Surat Cinta” termasuk puisi yang berada pada aliran romantisme.

Pada hakikatnya, aliran romantisme merupakan aliran dalam sastra yang lebih mengutamakan perasaan sehingga dalam penerapannya menggunakan bahasa yang indah dan mendalam, seakan mengawang dalam mimpi.
Pada “Surat Cinta” yang diciptakan oleh W.S Rendra adalah gambaran perasaan ketika ia jatuh cinta kemudian perasaan itu tertuang ke dalam sebuah bentuk puisi naratif yang romantis.

Surat Cinta

Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Bagai bunyi tambur mainan
Anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angin mendesah,
Wahai, dik Narti
Aku cinta padamu !

Kutulis surat ini
Kala langit menangis
Dan dua ekor belibis
Bercintaan di dalam kolam
Bagai dua anak nakal
Jenaka dan manis
Mengibaskan ekor,
Serta menggetarkan bulu-bulunya.
Wahai, dik Narti, Kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
Menyentuh ujungnya bumi.
Kaki-kaki cinta yang tegas
Bagai logam berat gemerlapan
Menembus ke muka
Dan tak kan kunjung diundurkan.
......................................................
Engkau adalah putri duyung
Tawananku.
Putri duyung dengan
Suara merdu lembut
Bagai angin laut,
Mendesahkan bagiku !
Angin mendesah
Selalu mendesah
Dengan ratapnya yang merdu.

Engkau adalah putri duyung
Tergolek lemas
Mengejap-ngejapkan matanya yang indah
Dalam jaringku.
Wahai, putri duyung,
Aku menjaringmu,
Aku melamarmu.

Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Karena langit
Gadis manja dan manis
Menangis meminta mainan
Dua anak lelaki nakal
Bersenda gurau dalam selokan
................................................

                                                                                (Empat Kumpulan Sajak, 1961)

Dikatakan romantis, sebab
Pada bait pertama, kedua, dan keenam (baris pertama dan kedua) terdapat bunyi yang sama. Yaitu    Ku tulis surat ini
                          Kala hujan gerimis.
Ini menggambarkan bahwa penyair menulis sebuah surat dalam keadaan yang dapat diresapi oleh pembaca. Pembaca dapat meresapi seakan-akan mereka yang berada dalam suasana tersebut. Begitu syahdu...
                Pada baris akhir bait pertama dan kedua, aku cinta padamu dan kupinang kau menjadi istriku menguatkan puisi ini bahwa penyair begitu dalam menyatakan perasaan hatinya kepada Narti. Hal ini dikuatkan ketika ia mengibaratkan putri duyung dengan suara merdunya adalah seseorang yang ia cintai tersebut. Putri duyung adalah tawanan hatinya, hingga ia ingin menjaring dan melamarnya.
                Puisi ini terlalu dalam mengungkapkan perasaan hati sang penyair, sehingga dalam ruang sastra, W.S Rendra dalam puisi ini dianggap masuk dalam aliran romantisme.

Salah satu puisi naratif yang termasuk aliran romantisme

               Membius Rindu

Kubuka lagi kotak memori di pekat malam
Menguak titik demi titik kamuflase yang kau rangkai
Hanya untukku
Hati kecil berbisik seiring memeras keras butir bening
Keharuan dan simbol kesedihanku.
Jatuh disudut bibir
Detik itu telah membius pikiran dan merobek hati
Yang lama terkatup
Hingga akhirnya menetes darah kekecewaan

Aku berdiri dikeremangan senja
Mencari-cari sosokmu di kerumunan awan hitam
Kulihat ujung matamu meruncing ke arahku
Namun lagi-lagi kau menghimpit dibaliknya
Dahiku mengernyit
hatiku kembali berbisik
Mungkin kau hanya begurau…

Sayatan kemarin terlalu dalam
Menggores asa tuk mengenal kaummu
Hingga kupastikan kaupun jua.
Opsiku diam…
Diamku dihadapmu
Terlalu jelas menampakkan rasa
Jika kau benar-benar peka.
Di setiap diamku, disitulah kuhirup dalam-dalam
Aroma tubuhmu,
merasakan detik demi detik
waktu lari mengencang.
Disetiap diamku
 kunikmati kata demi kata
Yang terucap dari bibirmu
Disetiap diamku
tersirat harap
Dengarlah  jerit hatiku
‘tuk memintamu.

Bibirku tak mampu menghentikan
Hentakan kakimu
Tapaki tangga-tangga perpisahan.
Bagaimana mungkin
Taman yang baru saja kupersembahkan untukkmu
Kau tinggalkan begitu saja
Andai bisa kupagari taman itu
Agar kau tak bisa melangkah bebas
bahkan ke taman yang lebih hijau
di seberang  sana

Sebongkah tanya yang kau tanggalkan
Merajai isi kepalaku
Sebongkah Tanya  kau sodorkan
benar si hati kecilku
Mungkin kau hanya bergurau…

Imajiku melalang buana
Persepsi yang tak akan ada habisnya
Tentangmu, sosokmu, jiwamu, hatimu, dan semua atasmu
Penuh Tanya…
Benar si hati kecilku
Mungkin kau hanya bergurau…

Pergilah secepat mungkin,
Muakku telah kewalahan menguasai logika
Kumohon jangan tawarkan
Kebimbangan…
Melesap bergulir bak seringai duka
Meski kutahu,
Walau dipetang kita nikmati
Keromantisan di teduhnya tamanku ini,
Maka detik itu pula
Kau menikamku dengan pewantian rindu yang
Akan bergejolak merasuk ke heningnya gulita.
Membius rindu
Satu-satunya penenangku.

-Makassar, Desember 2011-

Satu lagi puisi yang termasuk aliran romantisme.
                       
KAKTUS

 Kau yang kusebut Kaktus.
 Durimu tak setajam belati, getahmu bukan pula racun.
               Kau yang kusebut kaktus, hijaumu terang.
               Kau yang kusebut kaktus, sandaran yang empuk.
               Kau yang kusebut kaktus, rinduku dalam benci.
               Kau yang kusebut kaktus, permainan air mata
               Kau yang kusebut kaktus, si empu tahta di tamanku
               Kau yang kusebut kaktus, AKU MENCINTAIMU.
 Kaktus, jika suaraku tidak lagi kau dengar,
 disitulah puncak rinduku.
 Aku membungkus perihku lewat tawa,
 ku urung tanyaku dalam diam.
 Raga yang jauh tapi jiwamu duduk di sini, disampingku.
 Tapi, pagi ini tidak lagi, bahkan mungkin untuk selamanya…
 Kaktus, durimu telah mengendap di nadiku,
 aku menikmati perihnya,
 perih merindu,
 perih bergelimang tanya,
 perih yang terasa membahagiakan.
 Sesekali aku berusaha mencabutmu
 dan ternyata ini lebih perih,
 sakit yang melebihi irisan belati
 Kau yang kusebut kaktus, AKU MENCINTAIMU.

   -Makassar, Februari 2012-

Adapula puisi yang berbeda dengan aliran romantisme. Puisi berikut berbanding terbalik dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam aliran romantisme. Dapat dikatakan bahwa puisi ini termasuk dalam aliran impresionisme.

Setengah Jalan

Aku terpojok di sudut jalan…
Ku seka keringat seraya mata menyipit
Memandang silau mentari yang setia menemani perjalananku.
Niat  yang awalnya hanya rehat sejenak,
Lalu kembali berjalan dan berlari kecil.
Entah mengapa cuaca malah menyuruhku diam dan berjalan mundur.
Gerimis menawarkan rinainya…
Menyuburkan asaku ‘tuk tetap bangkit dan berjalan
Namun hujan mengeras, menghentikan langkahku.
“Tak ada jaminan kau akan mendapat apa yang kau harapkan di sana” Tukasnya.
Aku bimbang…
Memang, aku tak tahu akan dapat apa di depan sana.
Di depan sana seakan menarikku tuk terus melangkah, merayuku dengan pesonanya.
Namun, ketika kakiku bergegas melangkah, bayang itu hilang…
Aku kehilangan arah.
“Sudah kubilang, itu hanya bayangan semu”, Hujan berbisik sinis.
Kini aku menjongkok di tengah jalan…
Menunduk dengan penuh kedilemaan
kuhiraukan Burung-burung bersayap indah berlalu lalang
Menawarkan rangkulan,
Tak ada yang menarik hatiku,
Sekali lagi ku runcingkan pandanganku di titik ujung sana…
Aku berdiri…
Kaki kiriku mengalun pelan ke belakang…
Tubuhku ikut berbalik haluan.
Akupun berlari mundur…
Berlari dengan rasa ketakutan akan kekecewaan
Yang mungkin lebih sakit
Dibanding kakiku yang telah melepuh
Di setengah perjalanan ini.

-Makassar, November 2011-