Pernah nggak sih
kita merasa berada pada kondisi yang terdesak untuk merespon sesuatu? Rasanya
sangat penting untuk mengklarifikasi hal-hal yang megganjal di dalam hati dan
pikir? Atau darurat rasanya untuk mengemukakan aspirasi mengenai sebuah
kejadian atau hal yang sedang marak diisukan? Pernah nggak
merasa berada di titik amarah yang buncah? Lalu merasa lega ketika mengeluarkan
sumpah serapah untuk diri sendiri dan objek lain? Pernah nggak melihat sekelompok teman sedang menggibahi sesuatu dan kita
merasa rugi tidak ikut nimbrung?
Pernah nggak sih kita berada pada situasi yang
ketika tidak bersuara, tidak vokal, dan tidak berargumen, rasanya dunia itu
seolah menghakimi dan kita ibarat kalah dalam peperangan? Atau merasa bahwa
jika tidak mengikuti tren yang sedang booming,
kita menjadi manusia paling udik di dunia? Pernahkah kita menuntut diri sendiri
agar bisa memenuhi dan memuaskan mata, perasaan, dan pengakuan orang lain
sesuai standar mereka? Pernah nggak
merasa tidak tertahankan melihat rayuan diskon besar-besaran di mall dan sangat
amat rugi rasanya jika melewatkan kesempatan itu?
...
Pernah nggak ngalamin
jatuh dari sepeda? Dengkul kita memar bahkan luka terseret aspal. Bagian yang
luka itu lama kelamaan akan mengecil dan berproses, berubah, dan terganti menjadi sel-sel kulit yang baru.
Tapi dalam proses itu, disertai gatal yang tidak biasa. Tangan kita kerap kali
pengen menggaruknya. Kita antara mau dan enggan. Takut garukan itu mengenai
pusat luka yang sensitif dan menimbulkan luka baru lagi. Padahal luka itu
nyaris menutup dan sembuh.
Kadang kala, kita berada pada kondisi luka itu. Luka yang
gatal itu adalah kondisi darurat kita. Luka yang nyaris mengering itu ibarat
hati kita yang sedang gelisah, hati yang sakit, hati yang sedang gundah gulana
akibat situasi yang tidak kita harapkan. Luka-luka itu perlu wadah untuk
menampung rasa sakit, perih, dan gatal yang berlebihan.
Pada kenyataannya, kadang kita lupa atau bahkan sulit
memaklumi. Tidak semua yang gatal harus digaruk. Saat digigit nyamuk, tangan
kita refleks menggaruk dan wajar bila digaruk. Kepala kita gatal mungkin karena
banyak ketombe, tangan kita refleks menggaruk. Namun, soal gatalnya luka yang
merupakan proses sembuhnya luka itu sendiri, perlukah digaruk? Enggak. Kita
harus butuh sedikit sabar dan hanya mengelus-elus sekitaran luka itu agar
proses penyembuhannya berjalan sempurna, agar sel kulit yang baru bisa
menjalankan tugasnya untuk menutup luka itu dengan cepat.
Begitu
pula dengan hal, masalah, situasi yang sedang kita hadapi yang ‘sedikit’
menganggu hati dan pikiran kita. Seringkali kita kalah dengan kegegabahan untuk
bereaksi atas aksi-aksi yang ‘mengganggu’ itu. Tanpa terlintas sedetik pun
bahwa rasa “gatal” yang kita alamin malah akan semakin parah jika digaruk.
Meskipun akan terasa enak dan nyaman menggaruk sesuatu yang gatal itu. Namun, kenyamanan
itu malah menjadi jebakan. Keadaan akan semakin parah dan memburuk.
Begitulah situasi yan seringkali kita alami. Tidak semua
hal di dunia ini perlu kita komentari dan kritisi, apatah lagi bukan kapasitas
kita untuk mengomentari itu. Biarkan yang ‘berhak’ mengklarifikasinya. Jika terdengar
kicauan-kicauan orang tentang diri kita yang tidak semestinya, kicauan-kicauan
yang bisa menyulut amarah dan emosi kita yang meledak-ledak, kicauan-kicauan yang
seolah akan menjatuhkan bahkan terdengar seperti fitnahan, “garuk”lah kegatalan
yang menganggu kita itu sesuai porsinya asal tidak sampai menerjunkan kita
masuk dalam perangkap emosi yang berlebihan.
Saat kita mendapati teman-teman sedang berkumpul menggibahi
bahkan menggosipi seseorang lainnya, semoga lidah kita terkendali untuk tidak
ikut membaur dalam kegiatan makan bareng bangkai saudara sendiri. Tidak semua
yang gatal harus digaruk. Jangan sampai ketika tangan kita terlanjur menggaruk
bagian yang gatal itu, kita telah menjerumuskan diri kita untuk masuk ke liang
dosa.
Melihat diskon besar-besaran di mal. Ya Ampun, ingin
rasanya melahap habis produk-produk diskonan itu. Rugi rasanya melewatkan
kesempatan yang langka itu. Dengan dalih dan pembenaran pada diri sendiri “Kapan
lagi?” Padahal, barang yang diskon itu tidak kita butuh-butuhkan amat. Tidak digunakan
sekepepet mungkin. Tapi hanya untuk memuaskan lapar mata semata. Secara tidak
langsung, kita telah diperdaya oleh teknik marketing brand tersebut. Ketika kita sudah terlanjur membayar tunai atau
menggesek credit card, setan tertawa dan mengumandangkan bahwa kita telah masuk
perangkapnya. Kita terlalu gatal mengeluarkan uang demi kepuasan sementara. Dan
akhirnya, tiba di rumah, barulah kita menyadari. Gatal yang telah berhasil kita
garuk melepuh dengan rasa penyesalan.
Saat netizen latah dengan aplikasi yang lagi hits di media
sosial, hoaks yang bertebaran tanpa pertanggungjawaban, dan hujatan yang mudah
sekali kita muntahkan di kolom komentari sang selebgram atau artis, kita perlu
menamengi diri kita dari pengendalian diri yang kuat. Tidak semua yang gatal
harus digaruk. Tidak selalu aplikasi yang lagi hits kita gunakan demi
kepentingan eksistensi diri. Tidak selalu postingan orang di media sosial perlu
kita komentari dengan pisau jempol kita yang mengiris hati. Tidak semua, tidak
selalu, tidak selamanya hal-hal di dunia ini yang mencuat ke permukaan harus kita “garuk”.
“Menggaruk” dalam hal ini “bereaksi” atas aksi yang
terjadi adalah sebuah hal yang lumrah selama garukan itu wajar dan tidak
membuat hati kita infeksi. Sebab menggaruk artinya kita merespons,
mengungkapkan isi hati sesuai dengan aksi yang ada di hadapan kita, tetapi
segalanya memiliki porsi. Garuklah sewajarnya. Sebab, menggaruk sesuatu yang
gatal merupakan bentuk pengendalian diri kita untuk tidak melakukan sesuatu
secara impulsif.