Minggu, 16 Februari 2020

“TIDAK SEMUA YANG GATAL HARUS DIGARUK”

        Pernah nggak sih kita merasa berada pada kondisi yang terdesak untuk merespon sesuatu? Rasanya sangat penting untuk mengklarifikasi hal-hal yang megganjal di dalam hati dan pikir? Atau darurat rasanya untuk mengemukakan aspirasi mengenai sebuah kejadian atau hal yang sedang marak diisukan?  Pernah nggak merasa berada di titik amarah yang buncah? Lalu merasa lega ketika mengeluarkan sumpah serapah untuk diri sendiri dan objek lain? Pernah nggak melihat sekelompok teman sedang menggibahi sesuatu dan kita merasa rugi tidak ikut nimbrung?
          Pernah nggak sih kita berada pada situasi yang ketika tidak bersuara, tidak vokal, dan tidak berargumen, rasanya dunia itu seolah menghakimi dan kita ibarat kalah dalam peperangan? Atau merasa bahwa jika tidak mengikuti tren yang sedang booming, kita menjadi manusia paling udik di dunia? Pernahkah kita menuntut diri sendiri agar bisa memenuhi dan memuaskan mata, perasaan, dan pengakuan orang lain sesuai standar mereka? Pernah nggak merasa tidak tertahankan melihat rayuan diskon besar-besaran di mall dan sangat amat rugi rasanya jika melewatkan kesempatan itu?
...
Pernah nggak ngalamin jatuh dari sepeda? Dengkul kita memar bahkan luka terseret aspal. Bagian yang luka itu lama kelamaan akan mengecil dan berproses, berubah, dan  terganti menjadi sel-sel kulit yang baru. Tapi dalam proses itu, disertai gatal yang tidak biasa. Tangan kita kerap kali pengen menggaruknya. Kita antara mau dan enggan. Takut garukan itu mengenai pusat luka yang sensitif dan menimbulkan luka baru lagi. Padahal luka itu nyaris menutup dan sembuh.
Kadang kala, kita berada pada kondisi luka itu. Luka yang gatal itu adalah kondisi darurat kita. Luka yang nyaris mengering itu ibarat hati kita yang sedang gelisah, hati yang sakit, hati yang sedang gundah gulana akibat situasi yang tidak kita harapkan. Luka-luka itu perlu wadah untuk menampung rasa sakit, perih, dan gatal yang berlebihan.
Pada kenyataannya, kadang kita lupa atau bahkan sulit memaklumi. Tidak semua yang gatal harus digaruk. Saat digigit nyamuk, tangan kita refleks menggaruk dan wajar bila digaruk. Kepala kita gatal mungkin karena banyak ketombe, tangan kita refleks menggaruk. Namun, soal gatalnya luka yang merupakan proses sembuhnya luka itu sendiri, perlukah digaruk? Enggak. Kita harus butuh sedikit sabar dan hanya mengelus-elus sekitaran luka itu agar proses penyembuhannya berjalan sempurna, agar sel kulit yang baru bisa menjalankan tugasnya untuk menutup luka itu dengan cepat.
          Begitu pula dengan hal, masalah, situasi yang sedang kita hadapi yang ‘sedikit’ menganggu hati dan pikiran kita. Seringkali kita kalah dengan kegegabahan untuk bereaksi atas aksi-aksi yang ‘mengganggu’ itu. Tanpa terlintas sedetik pun bahwa rasa “gatal” yang kita alamin malah akan semakin parah jika digaruk. Meskipun akan terasa enak dan nyaman menggaruk sesuatu yang gatal itu. Namun, kenyamanan itu malah menjadi jebakan. Keadaan akan semakin parah dan memburuk.
Begitulah situasi yan seringkali kita alami. Tidak semua hal di dunia ini perlu kita komentari dan kritisi, apatah lagi bukan kapasitas kita untuk mengomentari itu. Biarkan yang ‘berhak’ mengklarifikasinya. Jika terdengar kicauan-kicauan orang tentang diri kita yang tidak semestinya, kicauan-kicauan yang bisa menyulut amarah dan emosi kita yang meledak-ledak, kicauan-kicauan yang seolah akan menjatuhkan bahkan terdengar seperti fitnahan, “garuk”lah kegatalan yang menganggu kita itu sesuai porsinya asal tidak sampai menerjunkan kita masuk dalam perangkap emosi yang berlebihan.
Saat kita mendapati teman-teman sedang berkumpul menggibahi bahkan menggosipi seseorang lainnya, semoga lidah kita terkendali untuk tidak ikut membaur dalam kegiatan makan bareng bangkai saudara sendiri. Tidak semua yang gatal harus digaruk. Jangan sampai ketika tangan kita terlanjur menggaruk bagian yang gatal itu, kita telah menjerumuskan diri kita untuk masuk ke liang dosa.
Melihat diskon besar-besaran di mal. Ya Ampun, ingin rasanya melahap habis produk-produk diskonan itu. Rugi rasanya melewatkan kesempatan yang langka itu. Dengan dalih dan pembenaran pada diri sendiri “Kapan lagi?” Padahal, barang yang diskon itu tidak kita butuh-butuhkan amat. Tidak digunakan sekepepet mungkin. Tapi hanya untuk memuaskan lapar mata semata. Secara tidak langsung, kita telah diperdaya oleh teknik marketing brand tersebut. Ketika kita sudah terlanjur membayar tunai atau menggesek credit card, setan tertawa dan mengumandangkan bahwa kita telah masuk perangkapnya. Kita terlalu gatal mengeluarkan uang demi kepuasan sementara. Dan akhirnya, tiba di rumah, barulah kita menyadari. Gatal yang telah berhasil kita garuk melepuh dengan rasa penyesalan.

Saat netizen latah dengan aplikasi yang lagi hits di media sosial, hoaks yang bertebaran tanpa pertanggungjawaban, dan hujatan yang mudah sekali kita muntahkan di kolom komentari sang selebgram atau artis, kita perlu menamengi diri kita dari pengendalian diri yang kuat. Tidak semua yang gatal harus digaruk. Tidak selalu aplikasi yang lagi hits kita gunakan demi kepentingan eksistensi diri. Tidak selalu postingan orang di media sosial perlu kita komentari dengan pisau jempol kita yang mengiris hati. Tidak semua, tidak selalu, tidak selamanya hal-hal di dunia ini  yang mencuat ke permukaan harus kita “garuk”.

“Menggaruk” dalam hal ini “bereaksi” atas aksi yang terjadi adalah sebuah hal yang lumrah selama garukan itu wajar dan tidak membuat hati kita infeksi. Sebab menggaruk artinya kita merespons, mengungkapkan isi hati sesuai dengan aksi yang ada di hadapan kita, tetapi segalanya memiliki porsi. Garuklah sewajarnya. Sebab, menggaruk sesuatu yang gatal merupakan bentuk pengendalian diri kita untuk tidak melakukan sesuatu secara impulsif.