Kamis, 28 Oktober 2021

Atheroma and Blank Spot

 

Balada Blank Spot di Pipi Kananku

 

Tepat setahun lalu, Oktober 2020 ada satu ‘komponen’ yang berubah dari wajahku. Beberapa orang mungkin menyadari, tapi tidak sedikit juga yang kurang “ngeh” dengan perubahan itu. Mungkin salah satu faktornya karena pertengahan pandemik kala itu, sosialiasasi dibatasi, dan wajah tertutup masker demi kepentingan kesehatan.

Sampai saat ini pun saat berpapasan langsung dengan rekan ataupun kolega, banyak yang kurang ngeh dengan ciri khas di wajahku. Hehe. Tentu karena intensitas bertemu semakin singkat dan masker masih setia bertengger di wajah. Perubahan itu terletak di pipi sebelah kananku, yaitu tahi lalat. (ga enak banget ngetik TAHI) wkwkw. Biasanya istilah ‘tahi lalat’ diplesetkan menjadi choco chips atau biji kurma. Tapi, untuk lebih halus lagi, kita ameliorasi-kan saja ya jadi Blank Spot.

Blank spot sebenarnya menjadi ciri khas seseorang, dan saya pribadi tidak merasa terganggu dengan kehadiran bintik hitam itu. Meskipun seringkali jadi becandaan teman-teman tapi saya merasa tidak merasa terzolimi sama sekali. Blank spot di pipi kanan ku itu bukan piranti bawaan sejak lahir. Sebatas ingatanku, blank spot itu mulai muncul saat aku berusia 10-12 tahunan, atau duduk dibangku kelas 5-6. Diawali dengan gatal, lalu merah, kemudian munculah setitik hitam itu. Seiring bertambahnya usiaku, blank spot itu diameternya juga berkembang dan bervolume. Namun, masih sebatas wajar dan enak dipandang. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dan dicemaskan, malah saya merasa punya ciri khas dengan blank spot itu.

       Rasa wajar itu berlangsung hingga aku berusia 28 tahun. Blank spot itu sama sekali tidak menganggu hidupku, malah kulit kering dan bruntusan lah yang silih berganti membuatku gusar dan sesekali ke klinik kecantikan dan gonta ganti skincare.

Kira-kira awal Maret 2020, aku merasa area blank spot itu volumenya tidak seperti biasa, tampak timbul, dan jika diraba berasa ada sesuatu di sekitarannya seperti benjolan. Penampakannya tidak begitu menganggu, sih, tapi sahabat atau orang-orang terdekatku yang seringkali bertemu denganku ‘ngeh” jika blank spot itu agak merah dan ukurannya tidak seperti biasanya.

          Dasar si ‘aku’ yang sulit untuk mengabaikan sesuatu hal, apalagi menyangkut kesehatan tubuh, tibalah saya di sebuah rumah sakit setelah sebelumnya melakukan reservasi untuk kunjungan ke dokter ahli bedah. Setelah diobservasi oleh dr. Andri, salah seorang dokter ahli bedah umum,  beliau mengungkap bahwa pembengkakan yang terjadi di blank spot itu bukan berasal dari blank spot itu sendiri, melainkan adanya gejala atheroma yang berada persis di bawah blank spot. Dengan kata lain, imbas pembengkakan atheroma itu berdampak pada penampakan blank spot-ku yang membesar.

          Nah, sebelum jauh bercerita, kita bahas dulu nih Atheroma itu apa. Disimpulkan dari berbagai sumber, mulai dari penjelasan dr. Andri, paman Google, dan mbak Wikipedia, dan berbagai platform akun kesehatan, atheroma merupakan kista, kantung tertutup berisi minyak dan butiran kecil keratin yang terletak di balik permukaan kulit. Atheroma berbentuk seperti benjolan atau tonjolan yang sering muncul pada wajah, kulit kepala, leher, tengkuk leher, atau tubuh. Kista ini terjadi ketika kelenjar keringat atau folikel rambut mengalami sumbatan. Kista yang berukuran kecil umumnya tidak nyeri. Akan tetapi, jika semakin membesar, dapat membuat sensasi tidak nyaman, dan terkadang muncul nyeri. Biasanya orang yang sering berjerawat memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kista atheroma.
            Kista atheroma ini termasuk jinak dan tidak berpotensi menjadi kanker. Seringkali dianggap bisul karena bentukannya memang tidak jauh berbeda. Atheroma yang tumbuh di pipi kananku sendiri seperti jerawat yang belum siap ‘meledak’ alias tidak memiliki mata seperti jerawat yang bakalan pecah. Jika terkena gesekan saat mencuci muka atau sengaja disentuh, baru berasa nyerinya yang tidak seberapa.

            Dalam kasusku sendiri, penyebab atheroma ini tidak ketahuan pasti, semuanya serba “BISA JADI”. Saya merasa tidak lengah dalam pembersihan wajah, meskipun wajahku memang rentan bruntusan sih. Tapi ini bisa dijadikan hipotesis awal sebagai pencegahan selanjutnya. Bisa jadi juga karena pemakaian masker, bisa jadi pula karena kelenjar keringat yang menumpuk karena saya termasuk orang yang sangat mudah keringatan. DAN … bisa jadi pula karena gaya hidup dan jajan yang sembarangan.

          Setelah melakukan observasi mendalam pada hari itu, dr Andri memberikan opsi untuk penanganan. Ia menjelaskan bahwa sekalipun tidak ada penanganan, hanya sekadar meminum antibotik yang akan diresepkan, atheroma ini tidak menjamin akan hilang selamanya. Dengan kata lain, ia akan datang lagi kapan saja.

Insisi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengangkat atheroma ini. Insisi adalah sayatan kecil akan dibuat oleh dokter di bagian kista ateroma yang nantinya perlahan akan dikeluarkan isinya oleh dokter. Atheroma masih bisa tumbuh kembali jika melakukan metode ini meskipun mudah untuk dilakukan.

          Namun, berhubung saya paranoid duluan untuk ditindaki secara sadar, akhirnya memilih untuk ditindaki dengan operasi minor. Operasi minor dilakukan dengan cara seluruh kista akan dibuang oleh dokter dengan cara melakukan pembedahan kecil. Operasi minor ini dinyatakan aman dan efektif dalam pencegahan kista ateroma untuk tumbuh kembali nantinya di kemudian hari. Setelah diangkat, dr. Andri memberikan antibiotik dan salep untuk memudarkan bekas luka operasi.

          Terangkatnya atheroma di pipiku, berimbas pada blank spot ku yang sangat dekat posisinya. Lagi-lagi ini merupakan keputusan yang diambil secara oleh sadar olehku dengan berbagai pertimbangan yang disampaikan oleh dokter.

          Seperti biasa, saat ingin memulai operasi, kita diwajibkan puasa selama enam jam sebelum dilakukan Tindakan operasi. Setelah itu, diinpus dan dianastesi sehingga hilang kesadaran selama pengerjaan. Berhubung ini adalah tindakan operasi kesekian yang kujalani, jadi saya merasa tidak begitu deg-deg serrr menghadapi ruangan yang sangat familier itu. Setelah pengerjaan sekitar 30 hingga 45 menitan, saya mulai tersadar dan pipi kananku sudah tertutupi perban. Apakah ada nyeri pasca operasi? Sama sekali tidak.

          Setelah pengangkatan atheroma, dr. Andri mengobservasi atheroma yang telah diangkat ke laboratorium. Apakah jaringannya berbahaya atau tidak, agar dilakukan tindakan lanjutan. Alhamdulillah setelah tiga kali check-up dengan jeda waktu sepekan sekali, serta hasil lab juga telah keluar, atheroma itu dinyatakan jinak dan insya Allah tidak berpotensi untuk muncul kembali selama menjalani pola hidup sehat.

          Hal yang terbersit di kepalaku setelah itu adalah kegusaranku mengenai tampilan baru yang ada di pipi kananku. Saya sangat khawatir bekas luka itu menjadi sebuah keloid. Keloid merupakan bekas luka yang tumbuh di luar batas kulit yang cedera, sehingga tampak melebar dan seperti tonjolan pada kulit. Bekas luka yang dimaksud adalah akibat cedera atau setelah operasi. Sebenarnya hal ini merupakan bagian dari proses normal penyembuhan luka karena seiring berjalannya waktu, bekas luka tersebut akan memudar hingga menghilang.

Namun, namanya perempuan yang sangat khawatir jika penampilan di wajahnya ada yang aneh, bukan? Penjelasan dr. Andri membuatku tampak lega. Ia menjelaskan bahwa ia memberikan penanganan terbaiknya dengan menggunakan benang jahit luka yang unggul pula sehingga meminimalisasi munculnya keloid bahkan hasilnya tampak lebih halus untuk menyatukan jaringan tubuh pasca dibedah. Aku manggut-manggut saja karena memang pembedahan yang dilakukan oleh dr. Andri pada tubuhku bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, ia juga pernah mengangkat jaringan skin tag (daging tumbuh) yang ada di punggungku dengan cara operasi minor, persis dengan prosedural mengangkat atheroma dan blank spot ini. Skin tag yang muncul di punggungku bisa dikatakan semacam tanda lahir tetapi saya memutuskan untuk mengangkatnya karena kepentingan kesehatan dan penampilan tubuh.

Benar saja, bekas operasi di pipi kananku pasca operasi setahun kemudian, sangatlah halus. Meskipun untuk tampilan goresannya masih agak berbayang, tapi orang-orang bahkan tidak ‘ngeh’ jika blank spot ku telah minggat dari sangkarnya. Hehe. 

 


 

“Beberapa orang yang tidak paham banyak berspekulasi, “Kurang bersyukur nih, mengubah ciptaan Tuhan”. Ada pula yang bertanya “Mengapa harus dicabut, padahal itu yang membuatmu manis, loh?”, wkwkwk. Berarti kemanisanku hilang yaa sekarang?. Ada pula yang merasa bahwa pengangkatan blank spot ku itu karena gerah dibully dengan julukan choco chips. Semuanya Big No sama sekali. Tapi, penjelasan Panjang kali lebar di atas sudah menjadi jawaban atas tindakan operasi minor yang kulakukan di pipi kananku.

Untuk biaya penanganan dan pengangkatan atheroma ini, tentu relatif untuk setiap rumah sakit dan dokter spesialis yang menangani. Untuk penanganan oleh dokter spesialis bedah khusus aestetik tentu akan jauh lebih besar bianya jika dibandingkan dengan dokter spesialis bedah umum. Untuk spesial bedah aestetik, biaya operasi minor itu kurang lebih 18 jutaan, sedangkan untuk dokter spesial bedah umum sekitar 7 jutaan. Beberapa asuransi kesehatan menjamin seluruh biaya ini, kok. (S&K berlaku).

Observasi sejak dini pada sebuah pembengkakan yang tidak wajar itu penting. Baik itu berupa bisul ataupun tahi lalat (blank spot) yang ukurannya tidak normal atau malah semakin hari semakin berkembang. Sama halnya kesehatan gigi, hal kecil yang diabaikan dan tidak diperiksa sedini mungkin akan berakibat fatal nantinya. Serta penanganannya akan jauh lebih mudah jika terdeteksi lebih awal daripada harus menunggu hingga meradang. Begitu pula dengan bajet yang akan dikeluarkan, semakin parah kondisinya, tentu semakin besar pula biaya pengobatan yang harus dilakukan.