PENGASUHAN
DALAM SISTEM KELUARGA
Presented by Lactalover
Makassar
Pola pengasuhan dalam sistem
keluarga merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh orang tua yang
berorientasi pada keluarganya, utamanya anak. Kadang, berbicara soal pola
pengasuhan yang ideal untuk diaplikasi di sebuah rumah tangga ini, menjadi
momok yang rentan akan perdebatan, apalagi jika seorang parent kekeuh merasa
paling benar dalam menerapkan pola asuh itu sendiri. Dan akhirnya, mentok mengunderestimate bahwa si parent sono salah asuh atau salah didik. Padahal, pola pengasuhan dalam
sistem keluarga yang dipilih pada setiap “rumah” memiliki hak prerogatif nya masing-masing
untuk menentukan pola pengasuhan yang mereka akan terapkan—selama masih berada
di jalur yang benar atau sesuai dengan syariat dan anutan agama masing-masing.
Nah, inilah pentingnya mengikuti
berbagai macam seminar parenting, Moms..
Dads... seminar pola pengasuhan dalam sistem keluarga membuka cakrawala
berpikir kita sebagai orang tua agar lebih oke
oce dalam mengasuh anak. Bukan hanya teori yang ditemukan, sharing pengalaman dari berbagai kondisi
keluarga yang dihadapi peserta seminar pun bisa dijadikan bahan rumusan kita
untuk menentukan kurikulum yang akan diapply
berikutnya untuk keluarga kita.
Terkadang, seminar parenting diramaikan oleh kaum hawa
saja, alias emak-emak yang tentunya datang untuk mendengarkan ilmu. Sekaligus, hmm,, foto-foto. Hehe berikut dengan
riak-riak antusiasnya. Di zaman milenial ini, seminar parenting bukan lagi hal yang langkah dan tabu. Berbagai agent, komunitas bahkan perkumpulan
emak-emak via grup W.A pun berlomba-lomba membuat event dan project yang orientasinya
ke “all about kiddos” atau yaah yang terbaeklah untuk anak. Fenomena
ini merupakan investasi yang baik untuk orang tuanya bahkan untuk bangsanya
kelak. Sebab memplaningkan bibitnya menjadi bibit unggul, melalui sharing dan penguasaan teori via forum-forum
tersebut.
TAPI... kok yang mendominasi
keramaian seminar tersebut hanya emak nye saja. Bapake ke mana?? Bukankah yang
akan membibiti ada dua orang penting di dalamnya? Ayah dan Ibu-nya si anak
tentu saja ^_^.
Idealnya, seminar parenting yang berbau pola asuh dihadiri
oleh tidak hanya ibu, melainkan Ayah juga turun, masuk ke dalam forum,
mendengar bahkan disarankan untuk kepo bertanya. Bukan hanya ngedrop emak di
basement... (pengalaman ^_^). Mengapa? Karena seorang ayah memiliki peran yang
SANGAT penting untuk menentukan kurikulum pola asuh yang akan dipatenkan dalam
keluarganya. Paling tidak, jika Pak Suami memang tidak bisa menghadiri, Emak
wajib share ilmu-ilmu yang didapatkan
di seminar tersebut. Jangan pelit ilmu, Mak. ^_^ Dengan komunikasi dua arah,
Emak dan Pak Suami bisa dengan mudah menyusun strategi yang baik untuk
merumuskan kurikulum pengasuhan dalam keluarga.
Bukan hanya itu, di zaman edan ini,
kelakuan manusia juga makin aneh-aneh. Salah satunya, LGBT. Penyebab seseorang
mengalami LGBT ternyata salah satu faktornya adalah karena kurangnya peran ayah
dalam mengasuh. Ayah mempunyai peran sebagi attachment,
Ayah diklaim memiliki keberanian sehingga anak akan belajar keberanian itu dari
ayahnya. Kalau anak sejak kecil sudah kehilangan figur Ayah, maka di dalam
tubuhnya akan lebih mendominasi sifat feminimnya. Oleh karena itu, pola
pengasuhan tidak bertumpu pada ibu saja, tetapi Ayah juga.
Pola pengasuhan di sistem keluarga
tidak mentok di ‘mengasuh’nya saja, tetapi merawat hingga mendidik (Kalau
mengasuh, baby sitter juga bisa.
Hehe.) kita harus pahami bahwa:
-Children See-
-Children Do-
Anak melihat, anak melakukan. Orang
tua adalah contoh yang paling pertama dilihat oleh anak-ananya. Dan anak
merupakan peniru ulung. Dia kan meniru apa yang mereka lihat dan rasakan. Di
tahap perkembangan emas, anak akan meniru apapun yang dilakukan orang tuanya.
Kegiatan meniru inilah yang akan berefek dan biasanya akan menjadi habit yang dibawa hingga dewasa. Maka,
di sinilah orang tua perlu berhati-hati dalam bersikap karena tanpa disadari
ada sosok yang sementara mengintai gerak-gerik, sikap, dan tingkah laku kita,
yaitu anak kita sendiri. Nah, di sini pula kekompakan Ayah dan Ibu dalam
membentuk sistem keluarga yang baik agar PR membentuk karakter anak bisa
sukses.
Dalam sistem keluarga, tidak lagi
membicarakan soal Emak dan Bapake. Bukan hanya Ayah dan ibu saja. Ingat, ini
sistem keluarga loh, jelas anak
bagian dari personil kita. Sistem keluarga akan menjadi sistem yang mampu
bekerja dengan baik tanpa kerusakan yang harus disesali di kemudian hari. Agar
sistem yang telah dirancang dengan apik berjalan baik dalam sebuah keluarga,
maka yang perlu digarisbawahi adalah terlibat
secara intim. Komunikasi ayah, ibu, dan anak harus berada pada siklus yang
benar, terjalin keakraban tanpa mengurangi rasa hormat dan saling menghargai
satu sama lain. Selain itu, aturan dalam sistem keluarga memegang peran yang
sangat penting. Sehingga, dari aturan tersebutlah sistem akan berjalan dengan
baik dan setiap anggota keluarga perlu tunduk dalam aturan main tersebut.
Kesepakatan dalam memilih pola asuh
pun adalah start awal yang sangat
memengaruhi hasil akhir. Pola asuh yang paling dominan yang diinginkan oleh
sebuah keluarga adalah pola asuh demokratis. Pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Ada pula pola
asuh yang bersifat otoriter, yang cenderung menetapkan standar yang mutlak yang
harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Sehingga orang tua
terkesan memaksa, memerintah, dan menghukum anak. Misalnya, “Kalau kamu nggak mau makan, kamu tidak boleh keluar
rumah seharian!”, atau “Awas kalau nilai rapor kamu jelek, Mamak akan jewer
telinga kamu!”.
Selain itu, pola asuh permisif,
yang memberikan kesempatan untuk anak melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang
berarti. Cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak jika telah melanggar
etika. Misalnya, masuk ke kamar orang tua tanpa ketuk pintu lantas dibiarkan, menonton
tayangan yang lebih dewasa dari usianya tidak ditegur, dan tindakan lainnya.
...
Kendala yang selanjutnya muncul
adalah ketika sebuah keluarga masih ‘numpang’ dengan keluarga lainnya. Alias
masih nebeng di rumah orang tua. Bagi warga Indonesia, model hidup seperti ini
tidak jarang terjadi.
Kita perlu pahami lebih dulu bahwa
komponen dalam sistem keluarga meliputi Ayah, Ibu, Anak. Jika strukturnya
seperti ini, maka akan lebih mudah dan ‘bebas’ dalam merancang sistem keluarga.
Namun, jika sistem keluarga dalam satu atap meliputi komponen Ayah, Ibu, Anak,
Tante, Om, dan kakek nenek, maka tidak banyak aturan yang bisa ‘dimainkan’.
Sebab, dalam satu keluarga tersebut memiliki banyak kepala keluarga. Sehingga
sulit untuk membuat sistem yang kokoh dan berimbas pada kemandirian keluarga.
Bukan berarti bahwa Sang Ayah tidak
bisa membuat aturan untuk keluarganya, tetap perlu membuat aturan yaah, meskipun memang realitasnya masih harus
nebeng di rumah orang tua. Namun, sistem yang dibangun hanya sebatas ‘dalam
kamar to’ saja’, yang menjadi ruang privasi untuk keluarga kecilnya. Jika Ayah,
Ibu, dan anak telah keluar dari kamar, maka aturan yang berlaku adalah aturan
umum yang berlaku di rumah tersebut.
Keluar dari hal tesebut, peran
suami dan istri tetap harus berjalan
seperti seharusnya. Pak Suami dan istri harus menjaga sinergitas dalam keluarga
sehingga menjadi kompak. Ditekankan bahwa mendidik dan membesarkan anak BUKAN
HANYA tugas para EMAK, tetapi pak suami juga. Jadi, Pak Suami jangan kabur
kalau diminta gantiin popok bayi yang
lagi pup, atau kabur saat sift membacakan dongeng untuk anak.
Tidak hanya itu, mengurus rumah
tangga BUKAN HANYA tugas para EMAK yang selalu dianggap settrong oleh pak
Suami. Memang sih, Emak adalah manusia terkuat sejagad raya, tapi bukan berarti
segala urusan domestik rumah tangga full
dibebankan di punggungnya. Suami juga perlu ikut andil dalam menata tanaman di
halaman rumah, atau sekadar membuat sarapan. Kembali ke konsep awal bahwa
suami-istri perlu bersinergi agar kompak dalam segala hal, ya... utama nya dalam
hal mengurus rumah tangga ini. Pak suami bisa memanfaatkan weekend untuk menambah amal jariyahnya di rumah. ^_^.
Yang tidak kalah urgensinya adalah
suami istri perlu membangun impian bersama. Memimpikan anak menjadi anak
soleh/solehah atau hafiz/hafizah, maka tugas berdua untuk menuntaskan mimpi
tersebut. Memiliki impian untuk punya investasi rumah sendiri, tugas berdua
pula untuk mengelola keuangan rumah tangga dengan apik.
Jadi, belajar untuk memahami sistem
keluarga yang ciamik itu bukan hanya
berorientasi pada parent saja, tetapi
semua personil dalam keluarga tersebut, termasuk anak.