Sabtu, 29 Desember 2018

Pengasuhan dalam Sistem Keluarga

PENGASUHAN DALAM SISTEM KELUARGA

Presented by Lactalover Makassar

Pola pengasuhan dalam sistem keluarga merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh orang tua yang berorientasi pada keluarganya, utamanya anak. Kadang, berbicara soal pola pengasuhan yang ideal untuk diaplikasi di sebuah rumah tangga ini, menjadi momok yang rentan akan perdebatan, apalagi jika seorang parent kekeuh merasa paling benar dalam menerapkan pola asuh itu sendiri. Dan akhirnya, mentok mengunderestimate bahwa si parent sono salah asuh atau salah didik. Padahal, pola pengasuhan dalam sistem keluarga yang dipilih pada setiap “rumah” memiliki hak prerogatif nya masing-masing untuk menentukan pola pengasuhan yang mereka akan terapkan—selama masih berada di jalur yang benar atau sesuai dengan syariat dan anutan agama masing-masing.

Nah, inilah pentingnya mengikuti berbagai macam seminar parenting, Moms.. Dads... seminar pola pengasuhan dalam sistem keluarga membuka cakrawala berpikir kita sebagai orang tua agar lebih oke oce dalam mengasuh anak. Bukan hanya teori yang ditemukan, sharing pengalaman dari berbagai kondisi keluarga yang dihadapi peserta seminar pun bisa dijadikan bahan rumusan kita untuk menentukan kurikulum yang akan diapply berikutnya untuk keluarga kita.

Terkadang, seminar parenting diramaikan oleh kaum hawa saja, alias emak-emak yang tentunya datang untuk mendengarkan ilmu. Sekaligus, hmm,, foto-foto. Hehe berikut dengan riak-riak antusiasnya. Di zaman milenial ini, seminar parenting bukan lagi hal yang langkah dan tabu. Berbagai agent, komunitas bahkan perkumpulan emak-emak via grup W.A pun berlomba-lomba membuat event dan project yang orientasinya ke “all about kiddos” atau yaah yang terbaeklah untuk anak. Fenomena ini merupakan investasi yang baik untuk orang tuanya bahkan untuk bangsanya kelak. Sebab memplaningkan bibitnya menjadi bibit unggul, melalui sharing dan penguasaan teori via forum-forum tersebut.

TAPI... kok yang mendominasi keramaian seminar tersebut hanya emak nye saja. Bapake ke mana?? Bukankah yang akan membibiti ada dua orang penting di dalamnya? Ayah dan Ibu-nya si anak tentu saja ^_^.

Idealnya, seminar parenting yang berbau pola asuh dihadiri oleh tidak hanya ibu, melainkan Ayah juga turun, masuk ke dalam forum, mendengar bahkan disarankan untuk kepo bertanya. Bukan hanya ngedrop emak di basement... (pengalaman ^_^). Mengapa? Karena seorang ayah memiliki peran yang SANGAT penting untuk menentukan kurikulum pola asuh yang akan dipatenkan dalam keluarganya. Paling tidak, jika Pak Suami memang tidak bisa menghadiri, Emak wajib share ilmu-ilmu yang didapatkan di seminar tersebut. Jangan pelit ilmu, Mak. ^_^ Dengan komunikasi dua arah, Emak dan Pak Suami bisa dengan mudah menyusun strategi yang baik untuk merumuskan kurikulum pengasuhan dalam keluarga.
Bukan hanya itu, di zaman edan ini, kelakuan manusia juga makin aneh-aneh. Salah satunya, LGBT. Penyebab seseorang mengalami LGBT ternyata salah satu faktornya adalah karena kurangnya peran ayah dalam mengasuh. Ayah mempunyai peran sebagi attachment, Ayah diklaim memiliki keberanian sehingga anak akan belajar keberanian itu dari ayahnya. Kalau anak sejak kecil sudah kehilangan figur Ayah, maka di dalam tubuhnya akan lebih mendominasi sifat feminimnya. Oleh karena itu, pola pengasuhan tidak bertumpu pada ibu saja, tetapi Ayah juga.

Pola pengasuhan di sistem keluarga tidak mentok di ‘mengasuh’nya saja, tetapi merawat hingga mendidik (Kalau mengasuh, baby sitter juga bisa. Hehe.) kita harus pahami bahwa:

-Children See-
-Children Do-

Anak melihat, anak melakukan. Orang tua adalah contoh yang paling pertama dilihat oleh anak-ananya. Dan anak merupakan peniru ulung. Dia kan meniru apa yang mereka lihat dan rasakan. Di tahap perkembangan emas, anak akan meniru apapun yang dilakukan orang tuanya. Kegiatan meniru inilah yang akan berefek dan biasanya akan menjadi habit yang dibawa hingga dewasa. Maka, di sinilah orang tua perlu berhati-hati dalam bersikap karena tanpa disadari ada sosok yang sementara mengintai gerak-gerik, sikap, dan tingkah laku kita, yaitu anak kita sendiri. Nah, di sini pula kekompakan Ayah dan Ibu dalam membentuk sistem keluarga yang baik agar PR membentuk karakter anak bisa sukses.

Dalam sistem keluarga, tidak lagi membicarakan soal Emak dan Bapake. Bukan hanya Ayah dan ibu saja. Ingat, ini sistem keluarga loh, jelas anak bagian dari personil kita. Sistem keluarga akan menjadi sistem yang mampu bekerja dengan baik tanpa kerusakan yang harus disesali di kemudian hari. Agar sistem yang telah dirancang dengan apik berjalan baik dalam sebuah keluarga, maka yang perlu digarisbawahi adalah terlibat secara intim. Komunikasi ayah, ibu, dan anak harus berada pada siklus yang benar, terjalin keakraban tanpa mengurangi rasa hormat dan saling menghargai satu sama lain. Selain itu, aturan dalam sistem keluarga memegang peran yang sangat penting. Sehingga, dari aturan tersebutlah sistem akan berjalan dengan baik dan setiap anggota keluarga perlu tunduk dalam aturan main tersebut.
Kesepakatan dalam memilih pola asuh pun adalah start awal yang sangat memengaruhi hasil akhir. Pola asuh yang paling dominan yang diinginkan oleh sebuah keluarga adalah pola asuh demokratis. Pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Ada pula pola asuh yang bersifat otoriter, yang cenderung menetapkan standar yang mutlak yang harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Sehingga orang tua terkesan memaksa, memerintah, dan menghukum anak. Misalnya, “Kalau kamu nggak mau makan, kamu tidak boleh keluar rumah seharian!”, atau “Awas kalau nilai rapor kamu jelek, Mamak akan jewer telinga kamu!”.
Selain itu, pola asuh permisif, yang memberikan kesempatan untuk anak melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang berarti. Cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak jika telah melanggar etika. Misalnya, masuk ke kamar orang tua tanpa ketuk pintu lantas dibiarkan, menonton tayangan yang lebih dewasa dari usianya tidak ditegur, dan tindakan lainnya.
...

Kendala yang selanjutnya muncul adalah ketika sebuah keluarga masih ‘numpang’ dengan keluarga lainnya. Alias masih nebeng di rumah orang tua. Bagi warga Indonesia, model hidup seperti ini tidak jarang terjadi.
Kita perlu pahami lebih dulu bahwa komponen dalam sistem keluarga meliputi Ayah, Ibu, Anak. Jika strukturnya seperti ini, maka akan lebih mudah dan ‘bebas’ dalam merancang sistem keluarga. Namun, jika sistem keluarga dalam satu atap meliputi komponen Ayah, Ibu, Anak, Tante, Om, dan kakek nenek, maka tidak banyak aturan yang bisa ‘dimainkan’. Sebab, dalam satu keluarga tersebut memiliki banyak kepala keluarga. Sehingga sulit untuk membuat sistem yang kokoh dan berimbas pada kemandirian keluarga.
Bukan berarti bahwa Sang Ayah tidak bisa membuat aturan untuk keluarganya, tetap perlu membuat aturan yaah,  meskipun memang realitasnya masih harus nebeng di rumah orang tua. Namun, sistem yang dibangun hanya sebatas ‘dalam kamar to’ saja’, yang menjadi ruang privasi untuk keluarga kecilnya. Jika Ayah, Ibu, dan anak telah keluar dari kamar, maka aturan yang berlaku adalah aturan umum yang berlaku di rumah tersebut.

Keluar dari hal tesebut, peran suami dan istri  tetap harus berjalan seperti seharusnya. Pak Suami dan istri harus menjaga sinergitas dalam keluarga sehingga menjadi kompak. Ditekankan bahwa mendidik dan membesarkan anak BUKAN HANYA tugas para EMAK, tetapi pak suami juga. Jadi, Pak Suami jangan kabur kalau diminta gantiin popok bayi yang lagi pup, atau kabur saat sift membacakan dongeng untuk anak.
Tidak hanya itu, mengurus rumah tangga BUKAN HANYA tugas para EMAK yang selalu dianggap settrong oleh pak Suami. Memang sih, Emak adalah manusia terkuat sejagad raya, tapi bukan berarti segala urusan domestik rumah tangga full dibebankan di punggungnya. Suami juga perlu ikut andil dalam menata tanaman di halaman rumah, atau sekadar membuat sarapan. Kembali ke konsep awal bahwa suami-istri perlu bersinergi agar kompak dalam segala hal, ya... utama nya dalam hal mengurus rumah tangga ini. Pak suami bisa memanfaatkan weekend untuk menambah amal jariyahnya di rumah. ^_^.

Yang tidak kalah urgensinya adalah suami istri perlu membangun impian bersama. Memimpikan anak menjadi anak soleh/solehah atau hafiz/hafizah, maka tugas berdua untuk menuntaskan mimpi tersebut. Memiliki impian untuk punya investasi rumah sendiri, tugas berdua pula untuk mengelola keuangan rumah tangga dengan apik.
Jadi, belajar untuk memahami sistem keluarga yang ciamik itu bukan hanya berorientasi pada parent saja, tetapi semua personil dalam keluarga tersebut, termasuk anak.

Selasa, 04 Desember 2018

I'am Working Mom and A Happy Mom

Working mom is strong—Fulltime mom is great


Sekarang adalah zamannya generasi millennial beraksi. Beraksi dalam meniti karier sampai berimprovisasi dalam mendidik anak. Tak jarang, generasi millennial mampu menerobos zaman dengan segudang kreativitasnya yang tak pernah terjamah oleh kaum generasi X. Salah satunya cara memilih jalan hidup, khususnya para wanita yang telah berstatus seorang ‘ibu’.
...
Aku termasuk wanita millennial itu. Aku seorang guru SMA di salah satu sekolah swasta di Makassar. Saat hamil, aku tidak merasa dibebankan dengan hidupku yang terkesan aktif. kehamilan yang hingga memasuki bulan ke-sembilan pun rasanya sah-sah saja menyetir sendirian. Belum lagi, mengajar fulltime di sekolah. Plus, nyambi  menuntaskan ujian akhir di kampus, adalah rutinitas yang memang dikejar waktu. Harus dilakukan. Segalanya harus terselesaikan dengan baik meskipun tetap memprioritaskan kesehatan calon bayi dalam perut. Alhamdulilah hingga terlahir di dunia, si baby sehat meskipun harus masuk dalam inkubator selama tujuh hari dan aku menjalani beberapa injure time yang benar-benar bikin panik (akan aku bahas di konten berikutnya yaa). Serta gelar magister yang kuraih 2 pekan pasca baby bala bala ku lahir di dunia. Dia telah menjadi saksi melihat ibuknya dalam berjuang meraih gelar itu. hehehe.
...
Kedilemaan belum mencuatkan taringnya kala itu. Namun, selepas masa cuti melahirkan tiga bulan itu,wow.... dilema terus menerus mengikut ke mana pun langkah pergi. Bagaimana tidak, aku harus berpisah selama hampir 10 jam dengan si baby untuk kembali ke rutinitasku. aku pun terkena baby blues. Selama kerja, aku kepikiran si baby di rumah. Sempat depresi dan kelelahan.
Dan sampailah pada puncak saat aku harus berpikir matang-matang untuk mengakhiri karierku dan menjadi full time mom atau tetap menjadi wanita karier yang strong dengan perasaan yang sedikit menguras hati dan energi karena cemas meninggalkan anak di rumah.
...
Qadarullah. Sembilan bulan berjalan. Segalanya berjalan seperti biasanya. Aku tetap menjadi seorang guru di sekolah dan menjadi super mom di rumah untuk Baby Muhammad Jinan. ^_^
Bagaimana rasanya jadi Working Mom?
Rasanya? Alhamdulilah. Segala Puji Bagi Allah. Aku yakin, Allah tidak pernah memilih pundak yang salah untuk memberikan amanah kepada umatnya. Menjadi working mom artinya kita harus mampu mengendalikan diri dan berkepribadian ganda. Kapan harus menjadi karyawan yang professional, dan ada waktu pula kita harus menjadi ibu yang super untuk anak kita di rumah. Kelelahan karena bekerja itu SIRNA karena segala kewajiban dituntaskan dengan rasa sabar, syukur, dan ikhlas. Terlebih lagi, wajah anak yang menyambut di teras rumah ketika pulang bekerja, adalah pemulihan penat yang paling mujarab dan menimbulkan kesegaran.
Awalnya, hal ini memang sangat berat. Namun, dukungan dari suami serta orang tua menjadi penguat yang paling berjasa. Fortunately, aku memiliki suami yang tidak neko-neko. Mau menjadi working mom ataupun full time mom, baginya tak jadi masalah. Pak suami memberikan kebebasan memilih tersebut bukan tanpa alasan.
Aku kerja di dunia pendidikan. Mengajar dan mendidik adalah tugasku. Baginya, aku adalah seorang guru yang insya allah tidak hanya mampu mendidik anak orang lain, pastilah tentunya akan lihai pula dalam mendidik anak sendiri. Menurut Pak Suami tercinta, aku seolah learning by doing. Mengajar itu mudah. Tapi, Mendidik itu pekerjaan yang sulit, loh? Mendidik anak orang lain di sekolah semacam sebagai les tambahan untuk menjadi ibu professional, kelak. Dan memang iya, Aku sebagai guru SMA yang notebene peserta didik sudah berada pada tahap adolsentia alias fase remaja-yang-sementara-bertransisi-ke-dewasa. Ini ‘kan jadi peluang besar untukku belajar menghadapi Jinan yang baru menginjak usia 9 bulan sekarang dan akan beranjak dewasa enam belas tahun ke depan ‘kan?
...
Tidak sedikit sang working mom yang paranoid dengan hidup yang dijalaninya saat ini. Justifikasi darifulltime mom tidak jarang pula menyudutkan. Padahal, aku yakin, semua ibu memiliki pertimbangan dalam menentukan statusnya untuk menjadi working mom atau fulltime mom. Sayangnya, orang-orang yang sering menjustifikasi jalan hidup yang kita jalani itu SALAH. Teranglah, orang-orang seperti itu memiliki pola pikir yang acakadut, merasa benar, seolah menasihati tapi jatuhnya malah menyudutkan.
Siapa bilang working mom itu egois dan tidak maksimal dalam mengurus dan mendidik anak? Semua ibu di dunia ini pasti akan melakukan hal terbaik untuk anaknya. 
Siapa bilang full time mom  itu bersantai-santai saja di rumah? Siapa bilang  fulltime mom itu jam tidurnya lebih banyak dari working momFull time mom mengorbankan segala waktunya untuk sang buah hati dan terkadang malah lupa makan seharian, mandi apalagi. Jadi, tidak ada alasan kita menjastifikasi bahwa mereka selonjoran saja di rumah. 
Belum ada penelitian yang bisa membuktikan itu, Geng. ^_
...
Jika status “Ibu” telah disandang oleh seorang wanita, maka 24 jam itu adalah jam kerjanya. Entah dia berstatus working mom atau fulltime mom.
Belum tentu sang fulltime mom memiliki keandalan lebih baik dalam mengurus anak dibandingkan working mom. Belum tentu pula sang working mom tidak lebih care dibanding sang full time mom.

Kalau ditanya pada diriku sendiri. Apakah aku sudah menjadi sang working mom yang professional? Apakah aku sudah berlaku seimbang antara di rumah dan di kantor?
Working Mom
Aku yakin bisa memenuhi indikator profesional itu. Optimis dan berusaha itu WAJIB ^_^. Lagi-lagi, hidupku selalu berpatok pada Learning By Doing. Hidup adalah perjuangan. Berjuang untuk belajar terus-menerus agar menjadi ibu yang baik untuk anakku dan juga anak orang lain di sekolah. Selepas mengajar, aku kembali ke rumah dan berubah wujud menjadi ibu untuk anakku. Kulucuti segala beban dan letih di depan pagar, lalu masuk ke rumah dengan membawa aura bahagia untuk anakku. Tak lantas beristirahat, menemaninya bermain di sore hari, memandikan, menyuapi, hingga menidurkannya tetap aku geluti.
Kalau semua wanita memang ditakdirkan untuk berdiam diri di rumah, lah, siapa yang akan menjadi ibu guru di sekolah? Siapa yang akan menjadi bidan membantu proses lahiran? Siapa yang akan menjual sayur di pasar? Siapa yang akan menjadi pramugari? Siapa yang akan menjadi Mamah Dedeh?
...
 Sedihnya, kecaman dari orang lain yang selalu menganggap working mom itu sebuah kefatalan adalah sebuah hal impulsif.
Katanya, anak jadi kehilangan kasih sayang nantinya. Katanya, Anak jadi tidak terurus. Katanya, ibunya pengen eksis mulu. Katanya, Anak kehilangan sosok ibu. Katanya, ibu harus jadi madrasah pertama anak-anaknya. Pernyataan terakhir itu, jelas aku setuju banget banget. Dan say no, dengan pandangan-pandangan yang selalu berdiri di atas kata “katanya” itu.
Aku telah menjadi saksi bahwa seorang working mom tidak SEFATAL yang dibayangkan. Tak perlu separanoid itu, Geng.
Aku hidup dari keluarga sederhana. Ayahku baru saja pensiun. Ibuku masih berstatus guru di sekolah negeri di Makassar. Artinya, aku hidup dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang berkarier. Karier mereka menuntut untuk tidak terus-terusan di rumah. Jelas, ibu ku adalah working mom, kan? Pertanyaannya, apakah kakak, adik, dan aku kehilangan kasih sayang? Apa kami menjadi nakal sampai harus nge-drugs ? Apa kami jadi pembangkang dan bertabiat buruk? Rasanya, tidak sama sekali.
Kami malah digenangi cinta yang hebat. Kemandirian ditanamkan di diri kami sejak kecil, buka berarti dicuekin begitu saja. Malah, kata “manja” jauh sekali dari kami. Tidak jarang kami diajak ke sekolah. Sementara ibu bekerja, kami duduk manis membaca buku di perpustakaan. Kami mengenal banyak orang dan kami bukan anak anti sosial.
Kakakku seorang laki-laki. Usianya lebih tua dua tahun dariku. Sejak sekolah, dia hobi nge-break dancedan kini dia menjadi aktor teater bahkan menjadi asisten sutradara. Adikku, seorang mahasiswa akademi pariwisata yang suka sekali naik gunung. Watak mereka jauh dari pribadi yang terkesan kekurangan kasih sayang. Mereka malah menjadi pemuda aktif dan positif. Dan aku, tumbuh menjadi seorang wanita yang insya Allah tangguh, seperti ibuku.
...
So, Kita tidak bisa mengukur sepatu orang lain di kaki kita. Aku yakin setiap pilihan hidup yang kini kita dan orang lain jalani adalah hasil istikharah terbaik yang ditetapkan Allah untuk kita. Menghargai keputusan apapun yang dilakukan oleh setiap ibu adalah bentuk empati dan dukungan untuk sama-sama berjuang dalam mendidik tanpa gap apapun. Bisa jadi, sang working mom saat ini, dua tiga tahun bahkan esok hari membanting setir menjadi fulltime mom. Tidak menutup kemungkinan pula, seorang fulltime mom akan esok lusa akan menjadi pejabat penting di sebuah perusahaan. 
                                                  ...
Dari beberapa seminar parenting yang aku datangi, pertanyaan yang berkaitan dengan working mom pun selalu aku gemakan di ruang seminar tersebut. Berikut inisiasi yang bisa diterapkan working mom untuk menjadi seorang ibu yang professional di tengah kesibukan karier dan bisa meningkatkan hubungan yang lebih berkualitas dengan sang buah hati.

1.       Berubah Wujud

Pekerjaan di kantor mungkin membuat kepala kita puyeng dan tidak jarang menimbulkan emosi yang tidak stabil akibat kelelahan. Kita perlu menggarisbawahi bahwa menjadi working mom sudah menjadi keputusan kita. Setelah kembali ke rumah, kita harus berubah wujud. Menanggal segala profesi dan jabatan apapun di kantor. Kita kembali ke rumah dengan meyimpan topeng kita sebagai wanita karier, berdiam diri sejenak untuk berubah wujud. Saat sampai di rumah, kita melangkahkan kaki memasuki rumah sebagai Ibu yang begitu berharga untuk anak kita. Berikan senyum terbaik untuknya, respon segala ujarannya, suapi dengan penuh cinta, serta menjadi teman sepermainannya yang paling asyik.
2.    Mengatur Quality Time

Quality time merupakan waktu ‘yang lain daripada yang lain’. Waktu berkualitas dengan anak tidak melulu harus bepergian keluar rumah seperti ke mall, berbelanja sesuka hati, atau keluar kota. Quality time di sini adalah waktu untuk kita lebih mendekatkan bonding dengan anak tercinta kita. Weekend salah satu waktu yang efisien untuk working mom mengatur quality time.
Berlama-lamaan di tempat tidur, saling berpelukan, atau sambil menyugestikan padanya untuk menjadi anak yang soleh/solehah, anak cerdas, dan doa-doa terbaik untuknya juga merupakanquality time yang simpel khaaan?
Memandikan dan berlama-lamaan bermain air sambil bernyanyi dan selipkan lagi edukasi-edukasi dan doa untuknya juga quality time yang efektif digunakan.
Membacakan buku cerita sebelum tidur juga merupakan opsi yang tidak hanya meningkatkan kedekatan kita pada anak, tetapi juga menstimulus aspek berbahasanya.
Intinya adalah quality time bisa dilakukan di mana dan dalam kegiatan apa pun, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menghadirkan jiwa kita pada hati anak. Sehingga ia memahami bahwa ibunya, yaaa tetap ibunya, yang kodratnya mengasuh dia dengan penuh cinta.

3   Meminimalisasi Pemakaian Gawai

Gawai atau dikenal dengan gadget menjadi momok yang sulit dilepaskan dari setiap orang. Tidak terkecuali pada working mom. Lalu lintas komunikasi berjalan dengan satu genggaman saja menjadikan working mom setiap saat harus melongok ke gawai. Pemakaian gawai di rumah dapat menghambat komunikasi dengan anak. Notifikasi di gawai dapat disenyapkan dan diatur berbunyi pada panggilan-panggilan tertentu saja.
Sebenarnya hal ini terlihat mudah, tetapi tak semudah penerapannnya. Aku pun demikian, jika anak sudah tertidur, aku malah bergegas mengambil HP dan mengecek semua chatting­-an di grup W.A dan akhirnya kebablasan untuk berselancar di media sosial lainnya. Akhirnya, anak tertidur dengan pulasnya tanpa belaian dan ciuman kening. Dampaknya, hal tersebut menjadi kebiasaan buruk atau bad habit yang terus-menerus dilakukan tanpa adanya rasa bersalah karena dianggap tidak menimbulkan dampak apapun. Padahal, hal tersebut merupakan kefatalan.

4.   Biarkan anggaran RT sedikit membengkak

Terkadang weekend untuk working mom dimanfaatkan untuk mengurus urusan rumah tangga lainnya, seperti mencuci baju, membersihkan rumah, bahkan memasak. Demi menginvestasikan ilmu kedekatan kita pada anak, tak ada salahnya menggembungkan anggaran rumah tangga pada hal-hal yang tidak kalah urgensinya. Menggunakan jasa ART atau home cleaning, memasukkan baju-baju kotor di Laundry, dan membeli makanan merupakan cara untuk memaksimalkan bonding kita pada buah hati. Pekerjaan yang menumpuk malah biasanya menambah beban kerja sehingga berdampak pada mood kita yang tidak stabil. Oleh karena itu, jika kita tipikalworking mom yang berhemat untuk kepentingan lainnya, hindari menumpuk pekerjaan dan bergegas menyelesaikan pekerjaan tersebut dalam satu waktu. 

Sesungguhnya, segala inisiasi tersebut masih sebagai proses untuk menjadi 'ibu bekerja yang baik'. Tak ada ibu yang sempurna, kecuali dia yang terus-menerus belajar dan rendah hati untuk berjuang menjadi ideal. Semogabermanfaat.