Sabtu, 29 Desember 2018

Pengasuhan dalam Sistem Keluarga

PENGASUHAN DALAM SISTEM KELUARGA

Presented by Lactalover Makassar

Pola pengasuhan dalam sistem keluarga merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh orang tua yang berorientasi pada keluarganya, utamanya anak. Kadang, berbicara soal pola pengasuhan yang ideal untuk diaplikasi di sebuah rumah tangga ini, menjadi momok yang rentan akan perdebatan, apalagi jika seorang parent kekeuh merasa paling benar dalam menerapkan pola asuh itu sendiri. Dan akhirnya, mentok mengunderestimate bahwa si parent sono salah asuh atau salah didik. Padahal, pola pengasuhan dalam sistem keluarga yang dipilih pada setiap “rumah” memiliki hak prerogatif nya masing-masing untuk menentukan pola pengasuhan yang mereka akan terapkan—selama masih berada di jalur yang benar atau sesuai dengan syariat dan anutan agama masing-masing.

Nah, inilah pentingnya mengikuti berbagai macam seminar parenting, Moms.. Dads... seminar pola pengasuhan dalam sistem keluarga membuka cakrawala berpikir kita sebagai orang tua agar lebih oke oce dalam mengasuh anak. Bukan hanya teori yang ditemukan, sharing pengalaman dari berbagai kondisi keluarga yang dihadapi peserta seminar pun bisa dijadikan bahan rumusan kita untuk menentukan kurikulum yang akan diapply berikutnya untuk keluarga kita.

Terkadang, seminar parenting diramaikan oleh kaum hawa saja, alias emak-emak yang tentunya datang untuk mendengarkan ilmu. Sekaligus, hmm,, foto-foto. Hehe berikut dengan riak-riak antusiasnya. Di zaman milenial ini, seminar parenting bukan lagi hal yang langkah dan tabu. Berbagai agent, komunitas bahkan perkumpulan emak-emak via grup W.A pun berlomba-lomba membuat event dan project yang orientasinya ke “all about kiddos” atau yaah yang terbaeklah untuk anak. Fenomena ini merupakan investasi yang baik untuk orang tuanya bahkan untuk bangsanya kelak. Sebab memplaningkan bibitnya menjadi bibit unggul, melalui sharing dan penguasaan teori via forum-forum tersebut.

TAPI... kok yang mendominasi keramaian seminar tersebut hanya emak nye saja. Bapake ke mana?? Bukankah yang akan membibiti ada dua orang penting di dalamnya? Ayah dan Ibu-nya si anak tentu saja ^_^.

Idealnya, seminar parenting yang berbau pola asuh dihadiri oleh tidak hanya ibu, melainkan Ayah juga turun, masuk ke dalam forum, mendengar bahkan disarankan untuk kepo bertanya. Bukan hanya ngedrop emak di basement... (pengalaman ^_^). Mengapa? Karena seorang ayah memiliki peran yang SANGAT penting untuk menentukan kurikulum pola asuh yang akan dipatenkan dalam keluarganya. Paling tidak, jika Pak Suami memang tidak bisa menghadiri, Emak wajib share ilmu-ilmu yang didapatkan di seminar tersebut. Jangan pelit ilmu, Mak. ^_^ Dengan komunikasi dua arah, Emak dan Pak Suami bisa dengan mudah menyusun strategi yang baik untuk merumuskan kurikulum pengasuhan dalam keluarga.
Bukan hanya itu, di zaman edan ini, kelakuan manusia juga makin aneh-aneh. Salah satunya, LGBT. Penyebab seseorang mengalami LGBT ternyata salah satu faktornya adalah karena kurangnya peran ayah dalam mengasuh. Ayah mempunyai peran sebagi attachment, Ayah diklaim memiliki keberanian sehingga anak akan belajar keberanian itu dari ayahnya. Kalau anak sejak kecil sudah kehilangan figur Ayah, maka di dalam tubuhnya akan lebih mendominasi sifat feminimnya. Oleh karena itu, pola pengasuhan tidak bertumpu pada ibu saja, tetapi Ayah juga.

Pola pengasuhan di sistem keluarga tidak mentok di ‘mengasuh’nya saja, tetapi merawat hingga mendidik (Kalau mengasuh, baby sitter juga bisa. Hehe.) kita harus pahami bahwa:

-Children See-
-Children Do-

Anak melihat, anak melakukan. Orang tua adalah contoh yang paling pertama dilihat oleh anak-ananya. Dan anak merupakan peniru ulung. Dia kan meniru apa yang mereka lihat dan rasakan. Di tahap perkembangan emas, anak akan meniru apapun yang dilakukan orang tuanya. Kegiatan meniru inilah yang akan berefek dan biasanya akan menjadi habit yang dibawa hingga dewasa. Maka, di sinilah orang tua perlu berhati-hati dalam bersikap karena tanpa disadari ada sosok yang sementara mengintai gerak-gerik, sikap, dan tingkah laku kita, yaitu anak kita sendiri. Nah, di sini pula kekompakan Ayah dan Ibu dalam membentuk sistem keluarga yang baik agar PR membentuk karakter anak bisa sukses.

Dalam sistem keluarga, tidak lagi membicarakan soal Emak dan Bapake. Bukan hanya Ayah dan ibu saja. Ingat, ini sistem keluarga loh, jelas anak bagian dari personil kita. Sistem keluarga akan menjadi sistem yang mampu bekerja dengan baik tanpa kerusakan yang harus disesali di kemudian hari. Agar sistem yang telah dirancang dengan apik berjalan baik dalam sebuah keluarga, maka yang perlu digarisbawahi adalah terlibat secara intim. Komunikasi ayah, ibu, dan anak harus berada pada siklus yang benar, terjalin keakraban tanpa mengurangi rasa hormat dan saling menghargai satu sama lain. Selain itu, aturan dalam sistem keluarga memegang peran yang sangat penting. Sehingga, dari aturan tersebutlah sistem akan berjalan dengan baik dan setiap anggota keluarga perlu tunduk dalam aturan main tersebut.
Kesepakatan dalam memilih pola asuh pun adalah start awal yang sangat memengaruhi hasil akhir. Pola asuh yang paling dominan yang diinginkan oleh sebuah keluarga adalah pola asuh demokratis. Pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Ada pula pola asuh yang bersifat otoriter, yang cenderung menetapkan standar yang mutlak yang harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Sehingga orang tua terkesan memaksa, memerintah, dan menghukum anak. Misalnya, “Kalau kamu nggak mau makan, kamu tidak boleh keluar rumah seharian!”, atau “Awas kalau nilai rapor kamu jelek, Mamak akan jewer telinga kamu!”.
Selain itu, pola asuh permisif, yang memberikan kesempatan untuk anak melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang berarti. Cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak jika telah melanggar etika. Misalnya, masuk ke kamar orang tua tanpa ketuk pintu lantas dibiarkan, menonton tayangan yang lebih dewasa dari usianya tidak ditegur, dan tindakan lainnya.
...

Kendala yang selanjutnya muncul adalah ketika sebuah keluarga masih ‘numpang’ dengan keluarga lainnya. Alias masih nebeng di rumah orang tua. Bagi warga Indonesia, model hidup seperti ini tidak jarang terjadi.
Kita perlu pahami lebih dulu bahwa komponen dalam sistem keluarga meliputi Ayah, Ibu, Anak. Jika strukturnya seperti ini, maka akan lebih mudah dan ‘bebas’ dalam merancang sistem keluarga. Namun, jika sistem keluarga dalam satu atap meliputi komponen Ayah, Ibu, Anak, Tante, Om, dan kakek nenek, maka tidak banyak aturan yang bisa ‘dimainkan’. Sebab, dalam satu keluarga tersebut memiliki banyak kepala keluarga. Sehingga sulit untuk membuat sistem yang kokoh dan berimbas pada kemandirian keluarga.
Bukan berarti bahwa Sang Ayah tidak bisa membuat aturan untuk keluarganya, tetap perlu membuat aturan yaah,  meskipun memang realitasnya masih harus nebeng di rumah orang tua. Namun, sistem yang dibangun hanya sebatas ‘dalam kamar to’ saja’, yang menjadi ruang privasi untuk keluarga kecilnya. Jika Ayah, Ibu, dan anak telah keluar dari kamar, maka aturan yang berlaku adalah aturan umum yang berlaku di rumah tersebut.

Keluar dari hal tesebut, peran suami dan istri  tetap harus berjalan seperti seharusnya. Pak Suami dan istri harus menjaga sinergitas dalam keluarga sehingga menjadi kompak. Ditekankan bahwa mendidik dan membesarkan anak BUKAN HANYA tugas para EMAK, tetapi pak suami juga. Jadi, Pak Suami jangan kabur kalau diminta gantiin popok bayi yang lagi pup, atau kabur saat sift membacakan dongeng untuk anak.
Tidak hanya itu, mengurus rumah tangga BUKAN HANYA tugas para EMAK yang selalu dianggap settrong oleh pak Suami. Memang sih, Emak adalah manusia terkuat sejagad raya, tapi bukan berarti segala urusan domestik rumah tangga full dibebankan di punggungnya. Suami juga perlu ikut andil dalam menata tanaman di halaman rumah, atau sekadar membuat sarapan. Kembali ke konsep awal bahwa suami-istri perlu bersinergi agar kompak dalam segala hal, ya... utama nya dalam hal mengurus rumah tangga ini. Pak suami bisa memanfaatkan weekend untuk menambah amal jariyahnya di rumah. ^_^.

Yang tidak kalah urgensinya adalah suami istri perlu membangun impian bersama. Memimpikan anak menjadi anak soleh/solehah atau hafiz/hafizah, maka tugas berdua untuk menuntaskan mimpi tersebut. Memiliki impian untuk punya investasi rumah sendiri, tugas berdua pula untuk mengelola keuangan rumah tangga dengan apik.
Jadi, belajar untuk memahami sistem keluarga yang ciamik itu bukan hanya berorientasi pada parent saja, tetapi semua personil dalam keluarga tersebut, termasuk anak.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kereen 👏👍