Minggu, 17 Januari 2021

MUHASABAH AWAL TAHUN


Belum selesai persoalan Covid-19 yang merebak ke berbagai belahan dunia dengan korban jiwannya yang bukan angka seiprit, kini dunia disedihkan kembali dengan berbagai bencana alam, utamanya di beberapa wilayah di Indonesia. Terhitung belum genap dua pekan kita berada di tahun yang baru, tetapi pelajaran bermuhasabah diri mulai menyapa. Juga soal kekhawatiran, tangis, dan tak dipungkiri juga soal kematian.

         Langit di Januari begitu tampak kelabu, mengantar kisah lalu di tahun 2018 yang sama gulananya. Gempa Lombok berikut dengan Tsunaminya, demikian pula di Palu, juga jatuhnya Pesawat Lion Air JT 610. Kini, berbagai bencana berderet di tahun itu harus kembali berulang di awal tahun 2021 ini. Di awali dengan peristiwa jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182 yang memakan puluhan korban, Longsor di Sumedang, kemudian disusul dengan banjir hebat di Kalimatan dan gempa dahsyat mencapai 6,2 SR di Sulawesi Barat. Belum cukup sepekan, dunia dikabarkan kembali dengan bencana banjir rob di Manado. Kesedihan dipertegas dengan berpulangnya tokoh-tokoh besar pemuka agama yang turut menyempurnakan kepiluan kita di bulan kenduri ini.

ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢّ ﺇِﻧّﻲْ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎ ﻓِﻴْﻬَﺎ، ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﺖَ ﺑِﻪِ؛ ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّﻫَﺎ، ﻭَﺷَﺮِّﻣَﺎﻓِﻴْﻬَﺎ ﻭَﺷَﺮِّﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﺖَ ﺑِﻪِ

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kehadirat-Mu kebaikan atas apa yang terjadi, dan kebaikan apa yang di dalamnya, dan kebaikan atas apa yang Engkau kirimkan dengan kejadian ini. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan atas apa yang terjadi, dan keburukan atas apa yang terjadi di dalamnya, dan aku juga memohon perlindungan kepada-Mu atas apa-apa yang Engkau kirimkan.

Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa berderet ini. Kita bisa menjadikan segala bencana ini adalah ajang untuk bermuhasabah dan selalu mengingat kematian. Bahwasanya, bencana hadir bisa jadi bukan hanya karena kita sedang diuji. Akan tetapi, ini adalah dampak atas keserakahan kita dan begitu menganiaya alam tanpa sadar. Kematian memang adalah hal yang mutlak yang telah tertulis di Lauh Mahfuz. Kita tak pernah bisa memprediksi, bahkan melalu cenayang sekali pun soal kapan dan bagaimana kita menemui ajal. Apakah dengan tertimpanya bencana, dengan sakit, atau saat kita sedang berada dalam perjalanan?

Musibah yang terjadi adalah kesempatan di awal tahun untuk lebih banyak bermuhasabah diri. Merenung atas musibah yang terjadi, intropeksi atas kematian orang lain, mawas diri, meningkatkan iman dan perbaikan perilaku sebagai tuntunan dasar dari Allah untuk melakukan muhasabah diri.

Merasa seolah tak ada aral menghadapi kematian? Merasa bekal sudah mantap?

Yakin kusyu dalam sujud? Ini adalah beberapa pertanyaan yang kita urung untuk menguak di dalam hati kita sendiri bahkan ragu untuk menjawabnya. Padahal hati kecil kita mungkin menjawab bahwa iman kita belum menetap, sifat ujub masih mendarah daging.

            Kita perlu banyak belajar, sebab bencana di darat telah menjadi saksi, laut telah membuktikan, dan bahkan udara lagi-lagi menegaskan bahwa kita terlalu kecil dan angkuh untuk merasa hidup 1000 tahun lagi. Semoga kita senantiasa bermuhasabah untuk dan bertaubat, sebab kematian bagi setiap manusia adalah seuatu kepastian. Semoga kita bebekal cukup untuk kehidupan kita di kampung akhirat serta meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Amin-amin Ya Rabbalamin