Dalam penulisan puisi, penggunaan gaya bahasa sangat memiliki
pengaruh besar terhadap suatu karya puisi. Salah satunya adalah guna
memperindah dan mempertajam makna puisi
tersebut. Dahulu—sebelum masuk periode 1945 puisi sangat terikat dengan aturan-aturan
seperti penggunaan rima dan bait, namun kini puisi lebih cenderung ‘bebas’
dengan segala aturan-aturan yang pernah ada. Hal tersebut mengundang adanya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam penulisan sebuah puisi.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah: (1) penyimpangan leksikal, (2)
penyimpangan semantis, (3) penyimpangan fonologis, (4) penyimpangan morfologis
(5) penyimpangan sintaksis, (6) penyimpangan dialek, (7) penyimpangan register,
(8) penyimpangan historis, dan (9) penyimpangan grafologis.
CERMIN TUA
Diam…
Sendu
Gulita
Tanpa hasrat
Tanpa Birahi
Hanya ada bayang, si kembar yang bisu
Turut mengikut jejak ku yang kian terkatup lusuh.
Di hadapan…
Aku merekah garang, kau pun turut
Aku meringis pedih, kau pun turut
Aku bertopeng, kau pun turut
Dalam bingkai persegi
Turut mengikut jejakku yang kian terkatup lusuh
Cermin tua di istana kelam
Pantulkan rupa palsu akan jiwa
Turut mengikut jejakku yang kian terkatup lusuh.
Terkatup lusuh,
Terkatup lusuh,
Berontakku dalam sukma
Toreh kabut luka berdarah nanah
Cermin tua di istana kelam
Tak lagi berderak mengiring
Cermin tua di istana kelam
Pudar membisu
Cermin tua di istana kelam,
Diam terpaku
Mungkin kau bosan memandangku sendu.
Pada puisi Cermin Tua
terdapat penyimpangan yang terjadi. Yaitu penyimpangan semantis dan
penyimpangan grafologis. Pada dasarnya, penyimpangan semantis makna dalam puisi
yang tidak menunjuk pada satu makna, tetapi menunjukkan makna ganda. Makna
kata-kata yang selalu sama dengan makna dalam kehidupan sehari-hari. Juga tidak
terdapat kesatuan makna konotatif dari penyair dengan penyair lainnya.
Pada Cermin Tua,
penyimpangan semantisnya terlihat pada kata Topeng. Kata ‘bertopeng’ menurut
penulis merupakan sifat manusia yang tidak sesuai dengan sifat aslinya, watak
yang dibuat-buat dan berkamuflase. Sedangkan arti umumnya yaitu orang yang
menggunakan topeng. Juga pada kata ‘berdarah nanah’ yang menurut penulis adalah
makna konotasi dari kesakithatian yang mendalam.
Selain penyimpangan semantis, terdapat pula penyimpangan
grafologis. Penyimpangan grafologis merupakan penyimpangan dalam menulis
kata-kata, kalimat, larik, dan baris, penulis sengaja melakukan penyimpangan
untuk memeroleh efek estetis.
Semesta yang Lain
Bintang kedip
Kerlap-kerlip
Gelap terang bersitegang
saling berjuang
menguasai langit
Kibasan lembut pantulan
raja alam
Mengigit mengernyit
dahi
Teteskan air bening di
pori
Lalu, pancaroba
bertahta
Penghujan menyerang
Rinainya tebar bau
basah
Jua elok pelangi di
kala senja
Berarak nafasku
habiskan usia
Entah,,,
Detik keberapa
Ragaku dan alam saling
bercumbu
Pupuslah sudah
Usai berakhir
Kini saatnya kunikmati
semesta yang lain.
Sedangkan pada puisi Semesta yang Lain, Bukan hanya
penyimpangan semantis dan grafologis saja yang terdapat pada puisi ini,
melainkan adanya penyimpangan fonologis. Penyimpangan fonologis merupakan
penyimpangan untuk kepentingan rima (bunyi). Kata ‘juga’ diubah menjadi ‘jua’.
Penyimpangan yang lain yaitu
penyimpangan sintaksis. Pada dasarnya, frasa dalam kaidah pemakaian bahasa
Indonesia menggunakan pola DM (Diterangkan Menerangkan). Namun pada puisi
menggunakan pola MD (menerangkan diterangkan), juga terdapat pemadatan. Hal ini
terlihat pada frasa ‘Bintang kedip’ yang seharusnya adalah bintang yang
berkedap-kedip. ‘elok pelangi’ yang seharusnya pelangi yang elok.