Kamis, 08 November 2012

Penyimpangan dalam Puisi

Dalam penulisan puisi, penggunaan gaya bahasa sangat memiliki pengaruh besar terhadap suatu karya puisi. Salah satunya adalah guna memperindah dan mempertajam makna puisi  tersebut. Dahulu—sebelum masuk periode 1945 puisi sangat terikat dengan aturan-aturan seperti penggunaan rima dan bait, namun kini puisi lebih cenderung ‘bebas’ dengan segala aturan-aturan yang pernah ada. Hal tersebut mengundang adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam penulisan sebuah puisi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah: (1) penyimpangan leksikal, (2) penyimpangan semantis, (3) penyimpangan fonologis, (4) penyimpangan morfologis (5) penyimpangan sintaksis, (6) penyimpangan dialek, (7) penyimpangan register, (8) penyimpangan historis, dan (9) penyimpangan grafologis.


                   CERMIN TUA
Diam…
Sendu
Gulita
Tanpa hasrat
Tanpa Birahi
Hanya ada bayang, si kembar yang bisu
Turut mengikut jejak ku yang kian terkatup lusuh.

Di hadapan…
Aku merekah garang, kau pun turut
Aku meringis pedih, kau pun turut
Aku bertopeng, kau pun turut
Dalam bingkai persegi
Turut mengikut jejakku yang kian terkatup lusuh

Cermin tua di istana kelam
Pantulkan rupa palsu akan jiwa
Turut mengikut jejakku yang kian terkatup lusuh.

Terkatup lusuh,
Terkatup lusuh,
Berontakku dalam sukma
Toreh kabut luka berdarah nanah

Cermin tua di istana kelam
Tak lagi berderak mengiring
Cermin tua di istana kelam
Pudar membisu

Cermin tua di istana kelam,
Diam terpaku
Mungkin kau bosan memandangku sendu.

                                               

Pada puisi Cermin Tua terdapat penyimpangan yang terjadi. Yaitu penyimpangan semantis dan penyimpangan grafologis. Pada dasarnya, penyimpangan semantis makna dalam puisi yang tidak menunjuk pada satu makna, tetapi menunjukkan makna ganda. Makna kata-kata yang selalu sama dengan makna dalam kehidupan sehari-hari. Juga tidak terdapat kesatuan makna konotatif dari penyair dengan penyair lainnya.
Pada Cermin Tua, penyimpangan semantisnya terlihat pada kata Topeng. Kata ‘bertopeng’ menurut penulis merupakan sifat manusia yang tidak sesuai dengan sifat aslinya, watak yang dibuat-buat dan berkamuflase. Sedangkan arti umumnya yaitu orang yang menggunakan topeng. Juga pada kata ‘berdarah nanah’ yang menurut penulis adalah makna konotasi dari kesakithatian yang mendalam.
Selain penyimpangan semantis, terdapat pula penyimpangan grafologis. Penyimpangan grafologis merupakan penyimpangan dalam menulis kata-kata, kalimat, larik, dan baris, penulis sengaja melakukan penyimpangan untuk memeroleh efek estetis.

     Semesta yang Lain

Bintang kedip
Kerlap-kerlip
Gelap terang  bersitegang
saling berjuang menguasai langit

Kibasan lembut pantulan raja alam
Mengigit mengernyit dahi
Teteskan air bening di pori
Lalu, pancaroba bertahta
Penghujan menyerang
Rinainya tebar bau basah
Jua elok pelangi di kala senja

Berarak nafasku habiskan usia
Entah,,,
Detik keberapa
Ragaku dan alam saling bercumbu
Pupuslah sudah
Usai berakhir
Kini saatnya kunikmati semesta yang lain.

            Sedangkan pada puisi Semesta yang Lain, Bukan hanya penyimpangan semantis dan grafologis saja yang terdapat pada puisi ini, melainkan adanya penyimpangan fonologis. Penyimpangan fonologis merupakan penyimpangan untuk kepentingan rima (bunyi). Kata ‘juga’ diubah menjadi ‘jua’.
            Penyimpangan yang lain yaitu penyimpangan sintaksis. Pada dasarnya, frasa dalam kaidah pemakaian bahasa Indonesia menggunakan pola DM (Diterangkan Menerangkan). Namun pada puisi menggunakan pola MD (menerangkan diterangkan), juga terdapat pemadatan. Hal ini terlihat pada frasa ‘Bintang kedip’ yang seharusnya adalah bintang yang berkedap-kedip. ‘elok pelangi’ yang seharusnya pelangi yang elok.