Minggu, 16 Agustus 2020

MERDEKA BERBAHASA


Pemuda Indonesia, apakah akan selalu mengingat sumpahnya? “Kami Putera-puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Begitu ‘kan sumpah pemuda butir ketiga?


     

    Kaum Milenial, generasi Z hingga generasi Alpha saat ini dihadapkan dengan gaya hidup xenosentrisme, yaitu pandangan yang lebih menyukai hal-hal berbau asing. Paham ini berasal dari sikap individu yang kurang percaya diri dan merasa inferior. Bukan hanya tentang cara seseorang menilai rendah budayanya sendiri dan menilai budaya asing jauh lebih tinggi. Penggunaan bahasa pun sedemikian adanya.

Kedudukan bahasa Indonesia mulai bergeser seiring berkembangnya zaman. Kita pura-pura lupa bahwa Sumpah pemuda butir ketiga pernah kita dengungkan dan kita ikrarkan. “Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”. Apa kabar kalimat ikrar yang dulunya didengung-dengungkan oleh tetuah dan para pejuang terdahulu? Apakah ikut tergerus oleh globalisasi yang kiblatnya semakin hari semakin membarat?

Bahasa dianggap sebagai jati diri bangsa, meskipun pada pengaplikasiannya bahasa Indonesia lebih terkesan dianaktirikan di‘rumahnya’ sendiri. Bahasa asing lebih dianggap berkualitas dan lebih bergengsi. “Untuk apa belajar bahasa Indonesia? Bukankah setiap hari kita berkomunikasi pakai bahasa Indonesia?”  Begitulah kira-kira pernyataan yang kerapkali menggema di telinga bahkan hingga ke hatiku ketika saya mencoba mengapersepsi dan memancing peserta didik  sebelum masuk ke inti pembelajaran.

              Secara teori, pemahaman tentang Bahasa Indonesia bisa diacungkan jempol. Tapi, sudah tepatkah penggunaan bahasa kita pada konteks tertentu? Bagaimana penulisan kata atau frasa yang kita tuliskan, apakah sudah merujuk pada kaidah kebahasaan atau Kamus Besar Bahasa Indonesia? Sudah sesuaikah pelafalan yang seharusnya dilafalkan dalam bahasa Indonesia atau jangan-jangan kita melafalkan sebuah kata dengan gaya keinggris-ingrisan?

              Dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, tidak melulu diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan tersusun secara terstruktur dengan memperhatikan gramatikal dan segala bentuk pragmatiknya. Tidak melulu. Kita mungkin sering menjumpai istilah “Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” ini di buku paket bahasa Indonesia, di spanduk jalan raya, atau iklan layanan sosial yang ada di televisi. Pahamkah kita makna dari kalimat persuasif itu?

Menggunakan ahasa Indonesia yang baik berarti menggunakan bahasa sesuai dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus efektif menyampaikan maksud kepada lawan bicara sehingga pemilihan laras bahasa pun harus sesuai dengan situasi tersebut. Ragam bahasa yang kita gunakan saat berbicara dengan teman atau sahabat jelas berbeda ketika kita dihadapkan pada forum komunikasi resmi seperti seminar atau rapat kerja. Dan akan berbeda pula jika kita berada pada situasi nonformal atau santai dengan keluarga di meja makan.

Sedangkan menggunakan bahasa Indonesia yang benar bermakna bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk berbahasa baku tertulis maupun berbahasa baku lisan.

              “Ma, bisakah saya menambah ayam goreng itu? saya sangat kelaparan”. Kalimat ini seringkali kita jumpai ketika kita sedang makan malam dengan keluarga. Ditinjau dari penggunaan bahasanya, kalimat ini sudah benar, tetapi belum baik karena konteks penggunaan bahasanya pun tidak sesuai. Kalimat tersebut menggunakan ragam bahasa resmi (formal) yang pada hakikatnya digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato atau rapat resmi. Padahal ragam bahasa yang sesuai dengan konteks tersebut adalah ragam bahasa santai, yaitu bahasa digunakan dalam suasana tidak resmi, seperti berbincang santai dengan keluarga di rumah ataupu n dengan teman.

              Sama halnya saat kita sedang melakukan musyawarah kerja ataupun rapat kerja di kantor, seseorang ingin menyampaikan pertanyaan pada sesi tanya jawab, “Bisa nggak sih saya bertanya sekali lagi?”. Kalimat tersebut merupakan kalimat ragam santai tetapi tidak sesuai dengan konteksnya. Meskipun di dalam forum tersebut adalah teman atau sahabat karib, situasi merupakan situasi formal sehingga pemakaian bahasa pun harus dikemas dengan menggunakan ragam bahasa formal.

              Beda halnya dengan bahasa Indonesia yang benar. Kita ambil contoh kecil saja, tetapi berdampak pada kefatalan yang besar. Biasanya kita menemui sebuah kalimat di depan kasir saat hendak membayar belanjaan kita. Di sana terpajang besar-besar, sebuah tulisan “Harap Antri”, atau “Silahkan duduk”. Sepintas, tidak ada yang salah dengan frasa tersebut. Akan tetapi, penulisan kedua frasa tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Penulisan kata antri seharusnya antre. Sedangkan silahkan, seharusnya silakan. Kondisi tersebut terus menerus berulang dan jarang dikoreksi. Hal-hal yang keliru tersebut dianggap lumrah sehingga sesuatu yang keliru itu dibenarkan.

              Beberapa contoh kecil tersebut, menunjukkan bahwa mendalami bahasa Indonesia adalah PR kita setiap pemuda Indonesia. Mempelajari bahasa Indonesia merupakan langkah dasar untuk terus menerus menjunjung bahasa persatuan. Belum lagi dengan beranaknya berbagai macam bahasa prokem, yang dengan mata positif kita anggap sebagai kreativitas anak Indonesia dalam segi berbahasa. Bahasa prokem datang menjadi variasi dan menambah khasanah bahasa Indonesia dengan ciri khasnya.

Merdeka berbahasa bisa kita galakkan dengan memahami berbagai macam ragam dan laras bahasa Indonesia, mulai dari ragam bahasa beku hingga ragam bahasa akrab bahkan prokem. Semakin kita memahami pemakaian ragam bahasa Indonesia, semakin kita paham bahwa Bahasa Indonesia bisa menginternasional lebih jauh lagi. Mungkin saat ini, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling populer di negara Australia dan lebih dari 500 sekolah mengajarkan bahasa Indonesia. Tapi dua tahun ke depan, bisa jadi bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa populer di berbagai benua.

Bahasa Indonesia tidak akan menjadi bahasa yang dikenal dunia, apabila kita sebagai Pemuda Indonesia yang telah bersumpah dan berikrar ikut andil dalam memerdekakan bahasa kita sendiri. Bukan berarti bahwa kita menolak keras adanya bahasa asing yang masuk. Bahasa asing atau bahasa internasional, seharusnya kita bijaki sebagai pelengkap keahlian dan nilai tambah dalam mengembangkan diri. Menjunjung bahasa Indonesia bukan alasan untuk menutup diri dari perkembangan dunia di luar sana. Local genius perlu kita terapkan sebagai bentuk penerimaan, memilah, dan mempelajari bahasa asing yang dianggap baik untuk meningkatkan potensi diri kita tanpa melengserkan kedudukan bahasa Indonesia di hati kita.

              Merdeka berbahasa, merdeka dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai konteks dan situasinya. Merdeka berbahasa adalah upaya dalam menjunjung bahasa Indonesia, meningkatkan jati diri bangsa. Memerdekakan bahasa Indonesia adalah bentuk kontribusi dalam memerdekakan Negara Republik Indonesia.

“Utamakan Bahasa Indonesia. Kuasai Bahasa Asing. Lestarikan Bahasa Daerah”.

 

 

Senin, 10 Agustus 2020

RESUME BUKU: SEGALA-GALANYA AMBYAR (SEBUAH BUKU TENTANG HARAPAN)

Assalamualaikum. Para Sobat Ambyar. EHHH... mendengar istilah Sobat Ambyar , mungkin di pikiran teman-teman langsung terbersit sosok legendaris, sang maestro Didi Kempot. Yap, istilah Sobat Ambyar merupakan nama komunitas penggemar penyanyi Almarhum Didi Kempot.

Menurut KBBI, Ambyar adalah bercerai-berai, terpisah-pisah, tidak terkonsentrasi lagi. Kata ini biasa digunakan sebagai penyempurna sebuah kalimat yang ingin mengekspresikan sebuah kekecewaan yang mendalam, intinya  sedih banget sampai bingung lagi harus berkata apa.

Kata ‘ambyar’ memiliki kedekatan makna dengan kata galau yang sempat hits pada masanya. Nah lagu-lagu Didi kempot dianggap bisa mengobati kekecewaan dan sakit hati itu. Didi bisa membantu mengobati sakit hati dari orang-orang yang perasaannya ambyar.

Loh, kok kita malah Ambyar gini?   

 

          

         

Yo wess, Kali ini saya tidak bermaksud membahas atau mengulik lebih dalam tentang komunitas Sobat Ambyar. Tapi, akan sedikit mengulas sebuah buku yang hampir mirip dengan nama komunitas Alhamrhum Didi Kempot itu.  Yap. Mungkin sudah ada yang bisa menebak, buku berjudul apakah itu???

          Yippi. Buku yang akan saya ulas adalah buku karya Mark Manson, penulis buku paling laris di internasional. Gebrakan buku sebelumnya yang laris itu berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Buku berikutnya ini yang akan saya kuliti dan kita bahas sama-sama ya, teman-teman, yaitu berjudul SEGALA-GALANYA AMBYAR. Sebuah Buku Tentang Harapan. Buku terbitan Grasindo ini merupakan buku saduran, terjemahan berjudul  Everything is F~cked.

Di sampul depan, terdapat sebuah kalimat, “Sebuah buku tentang harapan”,  kita sebut saja itu adalah slogan buku ini--yang terbit di awal 2019, lalu dicetak dan diterjemahkan pertama kali di  Indonesia pada Februari 2020. Ketebalan buku ini 349 halaman, sudah termasuk sampul. Sampul depan berwarna hijau tosca, persis warna kesukaanku. Mungkin ini juga bagian dari alasan mengapa saya tertarik membacanya. Hehe. Penulisnya adalah Mark Marson, penulis buku paling laris di internasional.gebrakan buku sebelumnya yang laris itu berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat dengan penjualan bernilai  lebih dari lima juta kopi (ini baru di Amerika Serikat saja, loh).

Tulisan dalam buku ini lebih merujuk pada kumpulan pemikiran tentang sebuah harapan dengan banyak kutipan dari berbagai jurnal dan esai yang mendukung pernyataan tersebut. Buku ini berisi dua bagian, yang pertama adalah tentang harapan dan bagian kedua tentang segala-galanya ambyar. Baiklah, mari kita kupas dikit setiap bagian dalam buku ini. Cekidot!!!

Bagian I. Harapan

          Bagian ini terdiri atas lima BAB, yaitu (1) Kebenaran yang menggelisahkan; (2) Kendali-Diri adalah sebuah ilusi; (3) Hukum Newton tentang Emosi; (4) Cara Mewujudkan Mimpi-Mimpi Anda; (5) Harapan Itu Ambyar.

          Secara garis besar, bagian HARAPAN ini memaparkan tentang asumsi-asumsi manusia agar  membuat hidup layak dijalani. Mark memulainya dengan menjabarkan pentingnya punya nilai-nilai dalam hidup khususnya nilai kebahagiaan. Bahkan, ia menjabarkan bahwa lawan dari kebahagiaan bukalanlah sebuah amarah atau kesedihan. Jika kita marah atau sedih, berarti kita masih peduli akan sesuatu. Maksudnya, ada suatu nilai di sana, bahkan kita memiliki harapan di balik kesedihan itu. Kalau bisa aku berpendapat, aku menyebutnya dengan sebuah “KEBANGKITAN” kali ya? Kebangkitan dari keterpurukan. Kesedihan bukan lawan dari kebahagiaan. Lawan dari kebahagiaan adalah keyakinan bahwa segala-galanya ambyar. Ibaratnya kita sudah tidak punya harapan lagi untuk melakukan sesuatu, sebuah kepasrahan, dan sebuah ketidakberdayaan.

          Kehilangan harapan dalam hidup merupakan nihilisme yang dingin dan suram, perasaan saat segala sesuatu tak ada lagi gunanya. Ketiadaan harapan adalah akar kecemasan, penyakit jiwa dan depresi. Sumber segala penderitaan dan biang kerok segala segala kecanduan.

          Sebuah harapan memberikan kesadaran akan tujuan dalam hidup kita. Bukan sekadar menyiratkan ada “tujuan” dalam hidup kita, ada “sesuatu” yang lebih baik di masa depan, tetapi juga bahwa sesungguhnya kita bisa mengejar dan meraihnya.

          Kehilangan harapan sama seperti kehilangan nilai-nilai diri kita sendiri. Bagaiamana cara agar kita dapat menjadikan diri kita sebuah harapan di setiap harinya? Pertama, dengan memeriksa ulang pengalaman masa lalu kita, kemudian merancang ulang hidup kita dengan memperkaya harapan dan tindakan-tindakan. Cara lain yang lebih ampuh ialah, dengan menuliskan cerita-cerita untuk diri kita di masa depan, untuk memproyeksi masa depan dengan bayangan yang kita hidupkan sendiri kemudian menjadikannya nyata.

Harapan itu bisa tumbuh jika kita membangun hubungan apa saja selalu meletakkan tujuan sebagai nilai tertinggi bukan sarana. Harapan hancur karena kita selalu memperlakukan manusia lain sebagai sarana bukan tujuan. Kejujuran itu sepenuhnya baik karena kejujuran adalah satu-satunya bentuk komunikasi yang tidak memperlakukan orang lain sebagai sarana

Bagian II. Segala-galanya Ambyar

Pada bagian ini, terdiri atas empat bab, yaitu(1) Formula kemanusiaan; (2) rasa sakit adalah konstanta universal; (3) Ekonomi perasaan; dan (4) agama final.

          Secara garis besar, bagian ini menjabarkan tentang formula bagaimana seseorang bisa berkembang dalam hidup, cara menjadi “dewasa”. Mark menuliskan bahwa kedewasaan adalah kesadaran bahwa terkadang sbeuah prinsip yang paling inti adalah tentang baik dan buruk yang tidak bisa ditawar-tawar, yang bahkan jika itu menyaktikan Anda hari ini, bahkan jika itu melukai orang lain, bersikap jujur tetaplah hal yang paling benar. Sebuah kedewasaan adalah pengantar menuju perkembangan. Semakin dewasa kita, peluang ke-ambyar-an kita semakin besar. Mengapa? Karena banyak kerikil-kerikil yang akan menjatuhkan mental kita untuk naik menuju perkembangan, melalui tapal-tapal harapan  yang kita punya.  Untuk melepaskan diri dari itu, kita harus bertindak tanpa pamrih, harus mencintai tanpa mengharapkan balasan. Jika tidak begitu, itu bukanlah cinta sejati.

          Realitanya saat ini adalah, terjadi krisis kedewasaaan, khususnya di zaman modern saat ini. Baik dalam dunia yang masih berkembang maupun yang sudah kaya, kita tidak hidup dalam sebuah krisis kesejahteraan atau material tapi sebuah kriris karakter, sebuah kriris keluhuran, sebuah krisis sarana, dan krisis HARAPAN. Namun, memiliki banyak harapan juga bukan hal yang menjadi prestasi. Itulah mungkin maksud Mark menjelaskan bahwa sebelum kita menuliskan harapan-harapan dan mewujudkannya, kita perlu meluruskan dulu apa yang sebenarnya kita butuhkan dan benar-benar menjadi tujuan hidup kita. Sehingga harapan-harapan itu bisa kita filter. Bisa jadi, harapan itu mungkin hanya ilusi yang kita ciptakan sendiri untuk mencapai sebuah tujuan atau ambisi, dan itu yang akan membuat kita menjadi Segala-Galanya Ambyar.

...

          Jadi, inti yang bisa dipetik dari dua bagian itu adalah: bagian pertama memberikan kita motivasi agar selalu meneguhkan harapan dalam hidup kita. Harapan adalah napas untuk keberlangsungan hidup kita menjadipribadi yang lebih baik ke depannya. Sedangkan bagian kedua memberikan kita wejangan bahwa meskipun dalam hidup, harapan harus tetap dihidupkan. Akan tetapi, bukan berarti kita melulu menumpuk harapan sehingga menjadi bumerang bagi hidup kita sendiri. Memiliki banyak harapan yang asal-asalan malah akan berujung pada keambyaran, apalagi jika harapan-harapan itu tak terwujudkan.

          Bagi saya, buku ini  agak berat untuk dipahami. Salah satu mengapa saya mengatakan ini berat, karena buku ini adalah buku terjemahan sehingga beberapa susunan dan diksi kalimat sedikit membuat saya harus berpikir dua tiga kali atau bahkan perlu membaca ulang dari halam sebelumnya. Uraiannya bersifat filosofis tetapi mencoba menjelaskan dengan ilustrasi sejarah apa yang hilang dalam hidup masyarakat modern: yaitu harapan. Tulisan Mark di sini kental dengan  kritikan pada gaya hidup hari kita hari ini,  yaitu tentang gaya hidup, obsesi, kritik pandangan hidup yang menginginkan kesenangan, selalu menyukai hal-hal sepele, bahkan sampai pada kritikan atas budaya kapitalisme yang remeh tapi menusuk.

Saya membaca buku ini, rasa seperti melihat kita hidup dalam keinginan untuk selalu mendapat kenikmatan, selalu mencandu hal-hal remeh sehingga kita mudah rapuh dan karena itu kita selalu mengagungkan kebebasan. Selain itu, saya banyak mendapat makna dari buku ini sekaligus menjadi wejangan untuk selalu menyangsikan kebiasaan yang lazim sekarang ini. Seperti keinginan kita untuk mendapatkan kenikmatan hidup yang instan dalam hal apa saja. Secara garis besar, buku ini merupakan upaya menahan hawa nafsu kita untuk menanam harapan yang terlalu besar yang tidak sinkron dengan kondisi atau kebutuhan hidup kita.