Pemuda Indonesia, apakah akan selalu mengingat sumpahnya? “Kami Putera-puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Begitu ‘kan sumpah pemuda butir ketiga?
Kaum Milenial, generasi Z hingga generasi Alpha saat ini dihadapkan dengan gaya hidup xenosentrisme, yaitu pandangan yang lebih menyukai hal-hal berbau asing. Paham ini berasal dari sikap individu yang kurang percaya diri dan merasa inferior. Bukan hanya tentang cara seseorang menilai rendah budayanya sendiri dan menilai budaya asing jauh lebih tinggi. Penggunaan bahasa pun sedemikian adanya.
Kedudukan bahasa Indonesia mulai bergeser seiring berkembangnya zaman. Kita pura-pura lupa bahwa Sumpah pemuda butir ketiga pernah kita dengungkan dan kita ikrarkan. “Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”. Apa kabar kalimat ikrar yang dulunya didengung-dengungkan oleh tetuah dan para pejuang terdahulu? Apakah ikut tergerus oleh globalisasi yang kiblatnya semakin hari semakin membarat?
Bahasa dianggap sebagai jati diri bangsa, meskipun pada pengaplikasiannya bahasa Indonesia lebih terkesan dianaktirikan di‘rumahnya’ sendiri. Bahasa asing lebih dianggap berkualitas dan lebih bergengsi. “Untuk apa belajar bahasa Indonesia? Bukankah setiap hari kita berkomunikasi pakai bahasa Indonesia?” Begitulah kira-kira pernyataan yang kerapkali menggema di telinga bahkan hingga ke hatiku ketika saya mencoba mengapersepsi dan memancing peserta didik sebelum masuk ke inti pembelajaran.
Secara teori, pemahaman tentang Bahasa Indonesia bisa diacungkan jempol. Tapi, sudah tepatkah penggunaan bahasa kita pada konteks tertentu? Bagaimana penulisan kata atau frasa yang kita tuliskan, apakah sudah merujuk pada kaidah kebahasaan atau Kamus Besar Bahasa Indonesia? Sudah sesuaikah pelafalan yang seharusnya dilafalkan dalam bahasa Indonesia atau jangan-jangan kita melafalkan sebuah kata dengan gaya keinggris-ingrisan?
Dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, tidak melulu diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan tersusun secara terstruktur dengan memperhatikan gramatikal dan segala bentuk pragmatiknya. Tidak melulu. Kita mungkin sering menjumpai istilah “Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” ini di buku paket bahasa Indonesia, di spanduk jalan raya, atau iklan layanan sosial yang ada di televisi. Pahamkah kita makna dari kalimat persuasif itu?
Menggunakan ahasa Indonesia yang baik berarti menggunakan bahasa sesuai dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus efektif menyampaikan maksud kepada lawan bicara sehingga pemilihan laras bahasa pun harus sesuai dengan situasi tersebut. Ragam bahasa yang kita gunakan saat berbicara dengan teman atau sahabat jelas berbeda ketika kita dihadapkan pada forum komunikasi resmi seperti seminar atau rapat kerja. Dan akan berbeda pula jika kita berada pada situasi nonformal atau santai dengan keluarga di meja makan.
Sedangkan menggunakan bahasa Indonesia yang benar bermakna bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk berbahasa baku tertulis maupun berbahasa baku lisan.
“Ma, bisakah saya menambah ayam goreng itu? saya sangat kelaparan”. Kalimat ini seringkali kita jumpai ketika kita sedang makan malam dengan keluarga. Ditinjau dari penggunaan bahasanya, kalimat ini sudah benar, tetapi belum baik karena konteks penggunaan bahasanya pun tidak sesuai. Kalimat tersebut menggunakan ragam bahasa resmi (formal) yang pada hakikatnya digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato atau rapat resmi. Padahal ragam bahasa yang sesuai dengan konteks tersebut adalah ragam bahasa santai, yaitu bahasa digunakan dalam suasana tidak resmi, seperti berbincang santai dengan keluarga di rumah ataupu n dengan teman.
Sama halnya saat kita sedang melakukan musyawarah kerja ataupun rapat kerja di kantor, seseorang ingin menyampaikan pertanyaan pada sesi tanya jawab, “Bisa nggak sih saya bertanya sekali lagi?”. Kalimat tersebut merupakan kalimat ragam santai tetapi tidak sesuai dengan konteksnya. Meskipun di dalam forum tersebut adalah teman atau sahabat karib, situasi merupakan situasi formal sehingga pemakaian bahasa pun harus dikemas dengan menggunakan ragam bahasa formal.
Beda halnya dengan bahasa Indonesia yang benar. Kita ambil contoh kecil saja, tetapi berdampak pada kefatalan yang besar. Biasanya kita menemui sebuah kalimat di depan kasir saat hendak membayar belanjaan kita. Di sana terpajang besar-besar, sebuah tulisan “Harap Antri”, atau “Silahkan duduk”. Sepintas, tidak ada yang salah dengan frasa tersebut. Akan tetapi, penulisan kedua frasa tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Penulisan kata antri seharusnya antre. Sedangkan silahkan, seharusnya silakan. Kondisi tersebut terus menerus berulang dan jarang dikoreksi. Hal-hal yang keliru tersebut dianggap lumrah sehingga sesuatu yang keliru itu dibenarkan.
Beberapa contoh kecil tersebut, menunjukkan bahwa mendalami bahasa Indonesia adalah PR kita setiap pemuda Indonesia. Mempelajari bahasa Indonesia merupakan langkah dasar untuk terus menerus menjunjung bahasa persatuan. Belum lagi dengan beranaknya berbagai macam bahasa prokem, yang dengan mata positif kita anggap sebagai kreativitas anak Indonesia dalam segi berbahasa. Bahasa prokem datang menjadi variasi dan menambah khasanah bahasa Indonesia dengan ciri khasnya.
Merdeka berbahasa bisa kita galakkan dengan memahami berbagai macam ragam dan laras bahasa Indonesia, mulai dari ragam bahasa beku hingga ragam bahasa akrab bahkan prokem. Semakin kita memahami pemakaian ragam bahasa Indonesia, semakin kita paham bahwa Bahasa Indonesia bisa menginternasional lebih jauh lagi. Mungkin saat ini, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling populer di negara Australia dan lebih dari 500 sekolah mengajarkan bahasa Indonesia. Tapi dua tahun ke depan, bisa jadi bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa populer di berbagai benua.
Bahasa Indonesia tidak akan menjadi bahasa yang dikenal dunia, apabila kita sebagai Pemuda Indonesia yang telah bersumpah dan berikrar ikut andil dalam memerdekakan bahasa kita sendiri. Bukan berarti bahwa kita menolak keras adanya bahasa asing yang masuk. Bahasa asing atau bahasa internasional, seharusnya kita bijaki sebagai pelengkap keahlian dan nilai tambah dalam mengembangkan diri. Menjunjung bahasa Indonesia bukan alasan untuk menutup diri dari perkembangan dunia di luar sana. Local genius perlu kita terapkan sebagai bentuk penerimaan, memilah, dan mempelajari bahasa asing yang dianggap baik untuk meningkatkan potensi diri kita tanpa melengserkan kedudukan bahasa Indonesia di hati kita.
Merdeka berbahasa, merdeka dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai konteks dan situasinya. Merdeka berbahasa adalah upaya dalam menjunjung bahasa Indonesia, meningkatkan jati diri bangsa. Memerdekakan bahasa Indonesia adalah bentuk kontribusi dalam memerdekakan Negara Republik Indonesia.
“Utamakan Bahasa Indonesia. Kuasai Bahasa Asing. Lestarikan Bahasa Daerah”.